Menganalisis Puisi Karya Taufiq Ismail
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Dosen Mata Kuliah :
Betta Anugrah Setiani, S.Pd
Disusun oleh :
Nama : NIM
:
Jaenul
Humaedilah (142SIB014038)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
MUHAMMADIYAH BOGOR
2015
DAFTAR ISI
Kata pengantar.................................................................................................... i
Daftar isi............................................................................................................... ii
BAB I : Pendahuluan............................................................................... 1
1.1. Landasan Teori....................................................................... 1
BAB II : Pembahasan................................................................................ 2
2.1. Analisis Puisi Seorang Tukang
Rambutan Kepada Istrinya... 2
2.2. Analisis Puisi
Kerendahan Hati.............................................. 5
2.3. Analisis Puisi
Sebuah Jaket Berlumur Darah......................... 8
2.4. Analisis Puisi
Karangan Bunga.............................................. 11
2.5.
Analisis Puisi Kemis Pagi....................................................... 13
BAB III : Penutup........................................................................................ 17
3.1. Kesimpulan............................................................................. 17
3.2. Saran....................................................................................... 17
Daftar pustaka..................................................................................................... 18
Lampiran............................................................................................................. 19
KATA
PENGANTAR
Pertama penulis mengucapkan puji syukur atas
kehadirat Allah SWT, karena atas berkah, rahmat, dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikan analisis ini tepat pada waktunya. Analisis yang
berjudul “Analisis Puisi Karya Taufiq
Ismail” ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah.
Dalam penulisan analisis ini, berbagai
hambatan telah penulis alami. Sehubungan dengan hal tersebut, saya sebagai
penulis dengan ketulusan hati mengucapkan terima kasih kepada Ibu Betta Anugrah
Setiani, S.Pd selaku dosen Pengampu mata kuliah Apresiasi dan Kajian Puisi yang
telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas analisis
puisi ini, agar pengetahuan penulis mengenai materi pembelajaran lebih luas.
Dan bagi para pembaca, semoga analisis puisi ini dapat bermanfaat.
Dalam penyusunan analisis puisi ini, penulis
menyadari pengetahuan dan pengalaman penulis masih sangat terbatas. Oleh karena
itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Dan penulis juga sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak yang telah membaca,
agar analisis puisi ini menjadi lebih baik dan bermanfaat. Terima kasih.
Bogor,
Mei 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Landasan Teori
Puisi merupakan sebuah karya
sastra yang berisi tentang curahan hati dari seseorang yang dituangkan dalam
sebuah tulisan dengan kata-kata pilihan yang indah dan padat akan makna. Menganalisis
merupakan suatu kegiatan membedah untuk mengetahui unsur-unsur apa saja yang
terkandung dalam sebuah karya sastra. Atau dapat dikatakan bahwa, menganalisis
merupakan proses untuk mengetahui komposisi dan struktur yang terdapat dalam
sebuah karya sastra. Salah satunya adalah menganalisis puisi. Dalam
menganalisis sebuah puisi, ada beberapa struktur yang dapat kita gunakan untuk
mengetahui unsur-unsur atau komposisi yang terdapat dalam sebuah puisi tersebut.
Struktur itu terbagi menjadi dua bagian yaitu :
a. Struktur Kebahasaan (Struktur
Fisik)
Struktur kebahasaan dapat
pula disebut sebagai metode puisi. Unsur-unsur bentuk atau struktur puisi dapat
diuraikan dalam beberapa metode puisi yaitu : diksi, pengimajian, kata konkret,
bahasa figuratif (Majas), versifikasi (Rima, Ritma dan Metrum) serta tata wajah
puisi (Tipografi). Semua unsur tersebut sangat berkaitan dalam menganalisis
puisi.
b. Struktur Batin Puisi
Struktur puisi atau dapat disebut hakikat puisi
mengungkapkan apa saja yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan
suasana jiwanya, dengan kata lain struktur batin puisi dapat diartikan dengan
makna dari sebuah puisi. Ada empat hakikat puisi yaitu tema, perasaan, nada dan
perasaan serta pesan atau amanat dari puisi.
Hanya dengan menggunakan struktur-struktur tersebut, kita
dapat mengetahui unsur dan komposisi yang dimiliki sebuah puisi dengan cara
membedahnya atau menganalisis. Disini penulis mencoba menganalisis beberapa
puisi karya dari Taufiq Ismail. Semoga hasil dari analisis puisi ini dapat bermanfaat
bagi para pembacanya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Analisis Puisi “Seorang Tukang Rambutan Kepada
Istrinya”
A. Analisis Struktur
Fisik
● Diksi
Diksi dalam puisi ini tidak begitu sulit. Karena banyak
menggunakan kata-kata yang umum
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, daripada menggunakan kata-kata yang
bersifat konotatif. Namun, penggunaan kata-kata umum juga tidak sampai
mempengaruhi keindahan puisi tersebut. Perhatikan larik pertama dan kedua pada
puisi tersebut, yang mengatakan :
Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Jelas dari larik pertama dan kedua
menggunakan kata-kata yang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya
: tadi siang, mati, mengantar.
● Pengimajian
Pengimajian yang terdapat dalam
puisi ini berbagai macam diantaranya imaji visual (penglihatan), imaji taktil
(sesuatu dapat dirasakan) dan imaji auditif (pendengaran). Hal ini dapat kita
temukan pada potongan puisinya yaitu :
Tadi siang ada yang mati,
Dan yang
mengantar banyak sekali (imaji visual)
Ya.
Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu
berteriak: dua ratus, dua ratus! (imaji auditif)
Sampai bensin
juga turun harganya
Sampai kita
bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka
kehausan dalam panas bukan main (imaji taktil)
● Kata Konkret
Kata
konkret dalam puisi ini hanya sedikit, karena sebagian kata-katanya menggunakan
bahasa yang umum digunakan. Kata konkret itu terdapat pada pada kalimat “Terbakar mukanya di atas truk terbuka” maksudnya para demonstran
kepanasan dengan sinar matahari yang sangat terik.
● Bahasa Figuratif (Majas)
Bahasa figuratif dalam puisi ini menggunakan beberapa bahasa
figuratif. Diantaranya adalah bahasa figuratif hiperbola atau kiasan yang
berlebihan serta bahasa figuratif litotes atau kiasan yang tidak memiliki arti
yang sebenarnya untuk merendahkan diri. Hal ini dapat kita temui dari beberapa
potongan puisinya yaitu :
Terbakar mukanya di atas truk terbuka (Hiperbola)
Saya tersedu, bu. Belum pernah seumur hidup
Orang berterimakasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita (Litotes)
Maksud dari terbakar
mukanya di atas truk melambangkan para mahasiswa yang kepanasan oleh terik
matahari dan orang kecil disini bukan orang kecil/sangat miskin, melainkan
hanya merendahkan diri kepada pembacanya. Dengan tujuan agar tukang rambutan
itu tidak menyombongkan dirinya.
● Versifikasi (Rima,
Ritma dan Metrum)
Jika diperhatikan bahwa rima yang digunakan disetiap lariknya
banyak menggunakan huruf a yang dipadu dengan huruf u yang melambangkan
keberanian seorang mahasiswa dalam
melanjutkan perjuangan.
Mereka
kehausan dalam panas bukan main
Terbakar
mukanya di atas truk terbuka
Saya lemparkan
sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah
sepuluh ikat juga
Memang sudah rejeki
mareka
Bunyi yang digunakan dalam
puisi ini ada yang berbunyi rendah dan ada pula yang berbunyi tinggi hal ini
lebih dikenal dengan sebutan ritma. Perbedaan bunyi itu dapat kita temukan
dalam potongan puisi :
Dan menyoraki
saya. Betul bu, menyoraki saya
‘Hidup tukang
rambutan! Hidup tukang rambutan!’
Dan ada yang
turun dari truk, bu
Mengejar dan
menyalami saya
‘Hidup
rakyat!’ teriaknya
Awalnya tukang rambutan itu berbicara seperti biasa saja,
tetapi untuk
mencontohkan cara mahasiswa berbicara dengan
nada suara yang tinggi, maka tukang rambutan itu berbicara dengan nada suara
yang tinggi pula. Dan untuk memberikan tanda bahwa kata-kata yang terdapat
dalam puisi itu tinggi/rendah, maka digunakan simbol (’) untuk tekanan keras dan simbol
(Ï…) untuk tekanan lemah. Hal ini disebut disebut metrum.
● Tipografi
Tipografi yang terdapat dalam puisi Seorang Tukang
Rambutan Kepada Istrinya memiliki larik-larik yang hampir sama panjang antara larik
pertama dan keduanya. Hal ini bertujuan untuk pemadatan makna disetiap lariknya.
B. Analisis Struktur Batin
● Tema
Puisi ini bertema kedaulatan rakyat yaitu tentang unjuk
rasa para mahasiswa terhadap pemerintah yang menaikan harga. Dan dari aksi
unjuk rasa itu ada salah satu mahasiswa yang tewas demi memperjuangkan agar
harga barang turun demi kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan potongan
puisi :
Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
● Nada dan Suasana
Nada dalam puisi ini adalah kritik terhadap pemerintah
yang menimbulkan suasana yang semangat dalam memberontak. Hal ini karena,
banyak mahasiswa yang pantang menyerah dalam memperjuangkan hak-hak rakyat
meskipun menewaskan salah seorang mahasiswa.
● Perasaan
Perasaan yang terdapat dalam puisi ini adalah rasa geram
atau marah terhadap pemerintah yang melakukan hal kesewenangan dengan menaikan
harga.
● Pesan/Amanat
Puisi ini memberikan pesan bahwa, jika kita melakukan hal
sekecil apapun dan kita melakukannya dengan ikhlas, maka kita akan mendapatkan
balasan yang mungkin akan lebih besar lagi. Contohnya tukang rambutan yang
mendapatkan ucapan terimakasih yang tulus hanya dengan memberikan rambutan
kepada mahasiswa yang sedang unjuk rasa. Dia tidak menyangka akan mendapatkan
ucapan setulus itu, sedangkan dia hanya orang kecil. Sampai ketika mahasiswa
itu naik ke truk ucapan terimakasih itu masih terdengar olehnya.
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakan terimakasihnya
2.2. Analisis Puisi “Kerendahan Hati”
A. Analisis
Struktur Fisik
●
Diksi
Diksi yang digunakan dalam puisi
ini, penyair banyak menggunakan istilah perumpamaan. Perumpamaan yang digunakan
seperti tumbuhan ataupun sebuah tempat. Meskipun memiliki struktur rima yang
berbeda dan bebas, tetapi hal ini tidak mempengaruhi keindahan dari puisi.
Perumpamaan itu dapat dilihat dari pada potongan puisi berikut :
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
Memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
● Pengimajian
Pengimajian yang terdapat dalam
puisi ini adalah imaji visual, hal ini sesuai dengan potongan puisi : Yang tegak di puncak bukit.
● Kata Konkret
Kata konkret yang digunakan dalam
puisi ini terdapat pada potongan puisi sebagai berikut :
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
Memperkuat tanggul pinggiran jalan
Maksudnya, jika kita tidak mampu
untuk meniru seseorang atau ingin menjadi seperti orang lain tidaklah perlu.
Cukup menjadi diri sendiri saja sudah cukup membuat orang lain bahagia.
● Bahasa Figuratif (Majas)
Bahasa figuratif yang digunakan
dalam puisi ini bervariasi seperti bahasa figuratif personifikasi yang terdapat
pada kalimat “Jalan setapak yang membawa
ke mata air”. Bahasa figuratif depersonifikasi/membendakan manusia atau
insan pada kalimat “Kalau engkau tak
mampu menjadi jalan raya” serta bahasa figuratif hiperbola pada kalimat “Tidak semua kapten menjadi kapten”. Dan
banyak pula menggunakan bahasa yang konotasi.
● Versifikasi (Rima,
Ritma dan Metrum)
Jika kita memperhatikan puisi ini
dengan sekilas, memang rima yang digunakan merupakan rima bebas. Tetapi,
meskipun demikian hal ini tidak mempengaruhi keindahan dari makna dalam puisi
ini.
Untuk penggunaan ritma dalam puisi
ini dapat kita perhatikan dari potongan puisi berikut :
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau.
Pada kalimat pertama penyair ingin
memberitahukan sesuatu hal yang merupakan pesan atau saran yang baik untuk
pembaca. Pada larik pertama pembaca menggunakan nada suara yang cukup tingga
dan larik yang cukup rendah. Hal ini bertujuan untuk mempertegas kata yang akan
disampaikan. Untuk hal membacakan tinggi rendahnya suatu bunyi, maka metrumlah
yang berperan.
● Tipografi
Tipografi yang terdapat dalam puisi Kerendahan Hati memiliki
larik-larik
yang hampir tidak sama
dengan larik berikutnya. Pada larik pertama dan kedua
merupakan kalimat sambungan
dari kalimat pertama, sedangkan larik berikutnya merupakan yang kalimat baru.
Hal ini bermaksud untuk memberikan jawaban dari kalimat sebelumnya.
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau.
B. Analisis Struktur Batin
● Tema
Puisi ini bertema kan tentang
kerendahan hati seseorang untuk bisa menjadi dirinya sendiri, walaupun baik
atau buruknya dirinya. Yang terpenting adalah mampu menjadi seseorang yang
bermanfaat bagi orang lain.
● Nada dan Suasana
Nada yang digunakan dalam puisi ini
adalah nada khusyuk karena puisi ini banyak menggunakan perumpamaan yang
menyuruh manusia agar merendahkan diri dan senantiasa mampu bermanfaat bagi
orang lain dan suasana yang dihasilkan menjadi suasana yang haru.
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air
● Rasa
Rasa yang terdapat dalam puisi ini
adalah rasa haru, karena dalam puisi ini dijelaskan apakah kita sudah
bermanfaat bagi orang lain? sedangkan, sebagai manusia harus bisa membantu
orang lain yang membutuhkan. Kita juga tahu, kita tidak dapat hidup tanpa orang
lain.
● Pesan/Amanat
Puisi ini memberikan pesan bahwa,
kita sebagai manusia tidak boleh sombong, memiliki sifat rendah hati, membantu
orang yang membutuhkan, menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain dan
terutama menjadi diri kita sendiri. Karena baik atau buruknya diri kita, tetap
itu diri kita.
2.3. Analisis Puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah”
A. Analisis
Struktur Fisik
● Diksi
Diksi yang digunakan dalam puisi ini
cukup rumit, karena kata-kata yang digunakan tidak semuanya menggunakan bahasa
sehari-hari. Hal ini dapat ditemukan pada kata ikrar, tirani, setengah tiang, sang pelayan. Dan dalam puisi ini
juga banyak diungkapkan kata-kata yang berisi pembelaan secara keras terhadap
kelompoknya dan kepada pihak yang dikritik. Biasanya pihak yang dibela
menggunakan kata-kata manis seperti kebebasan, keadilan, kebesaran dan sebagainya. Sedangkan
untuk pihak yang dikritik menggunakan kata tirani,
diktator, setan desa, munafik dan sebagainya. Perhatikan potongan puisi
berikut :
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan “Selamat tinggal perjuangan”
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
● Pengimajian
Pengimajian dalam puisi ini dapat kita temukan imaji
visual, imaji auditif dan imaji taktil. Hal ini dapat kita temukan dalam
potongan puisi :
Sebuah jaket
berlumur darah
Kami semua telah menatapmu (imaji
visual)
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun (imaji
taktil)
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’ (imaji auditif)
● Kata Konkret
Kata konkret dalam puisi ini dapat
kita temukan dalam potongan puisi :
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Dalam
kalimat ini memiliki maksud bahwa telah pergi sosok seorang pejuang rakyat yang
menyimpan kesedihan yang begitu dalam hati, serta adanya
pembeda antara pemerintah dan rakyat.
●
Bahasa Figuratif (Majas)
Bahasa figuratif yang digunakan
dalam puisi bermacam-macam, salah satu dari bahasa figuratif ini adalah bahasa
figuratif personifikasi. Hal ini sesuai dengan potongan puisi “Menunduk Bendera Setengah Tiang” dan bahasa
figuratif tautologi atau bahasa figuratif yang menggunakan kata-kata mubazir.
Terdapat pada kalimat “Mereka berkata”
kemudian disusul kata “Semua berkata”
yang pada dasarnya memiliki makna yang sama yaitu para mahasiswa. Mungkin
penyair hanya ingin mempertegas bahwa yang berkata itu adalah seluruh lapisan
masyarakat yang mendukung para mahasiswa.
● Verifikasi (Rima, Ritma dan Metrum)
Jika kita memperhatikan rima dalam puisi ini secara sekilas, memang
biasa saja. Tetapi, jika kita kaitkan dengan klanksymbol atau simbol bunyi yang memiliki makna, maka didapatkan
maksud dari tujuan ini yaitu : Serta setiapbaitnya banyak yang menggunakan konsonan /h/ yang
memiliki arti kedukaan, penggunaan konsonan /ng/ yang akan memberikan makna
peristiwa yang terjadi sangat panjang serta efek vokal /a/, /i/, /u/ dan
konsonan /k/, /b/, /p/ yang memberikan efek suasana yang kacau dan penuh dengan
kesibukan. Perhatikan potongan puisi
berikut :
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai
perkasa
Untuk tinggi rendahnya bunyi suara, penyair meletakannya dalam beberapa
kalimat dalam puisi tersebut. Salah satu diantaranya adalah “Spanduk
kumal itu, ya spanduk itu” nada
yang digunakan untuk kata “Spanduk
kumal itu” menggunakan nada yang
rendah dan kata “ya spanduk itu”
dengan nada rendah yang digunakan untuk memperjelas makna. Untuk masalah
tekanan lemah atau tekanan kuatnya (metrum) dapat ditentukan dengan bantuan
ritma.
● Tipografi
Tipografi yang terdapat dalam puisi Sebuah Jaket Berlumur
Darah memiliki panjang larik yang hampir sama memiliki arti yang kaya akan
makna, yang terkandung di dalamnya.
B. Analisis Struktur Batin
● Tema
Puisi ini bertema kan tentang
kemarahan mahasiswa karena tewasnya salah satu rekan mereka pada saat unjuk
rasa dan adanya pemisah antara pemerintah dengan rakyatnya yang menjadikan
perbedaan antara rakyat dan pemerintah pada saat itu. Perhatikan potongan puisi
berikut :
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
● Nada dan Suasana
Nada
yang digunakan dalam puisi ini menggunakan nada duka. Karena salah satu dari
mahasiswa tewas pada saat unjuk rasa. Dan menimbulkan suasana haru karena para
mahasiswa tersebut berusaha untuk meminta keadilan dengan berunjuk rasa wujud
dari pembelaan dan berakhir dengan prosesi pemakaman.
● Rasa
Rasa
yang ada dalam puisi ini adalah rasa marah, benci dan kesal dengan adanya
ketidakadilan pemerintah. Dengan tewasnya salah seorang mahasiswa pada saat
berunjuk rasa menambah rasa geram para mahasiswa.
● Pesan/Amanat
Pesan
yang terdapat dalam puisi ini dapat kita temukan dilarik terakhir yaitu “Lanjutkan perjuangan” yang berarti
bahwa kita harus berani dalam memperjuangkan hak-hak rakyat dan mampu melawan
ketidakadilan. Gugur dalam berjuang itu lebih mulia daripada gugur karena
menyerah.
2.4. Analisis Puisi “Karangan Bunga”
A. Analisis
Struktur Fisik
● Diksi
Diksi
dalam puisi ini banyak menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif sehingga
dapat menimbulkan makna yang ambigu. Meskipun demikian hal ini tidak
mempengaruhi keindahan dari puisi ini. Selain bersifat konotatif, puisi ini
juga banyak menggunakan perumpamaan yang mampu memperindah puisi, meskipun
tidak memiliki rima yang beraturan. Agar pembaca turut merasakan kedukaan,
dalam puisi ini banyak menggunakan kata ditembak
mati, pita hitam, pemakaman dan sebagainya.
● Pengimajian
Pengimajian yang terdapat dalam
puisi ini sangat jelas bahwa pengimajian yang digunakan imaji visual, imaji
taktil serta imaji auditif. Hal ini dapat ditemukan dalam potongan puisi :
Tiga anak kecil
Dalam langkah
malu-malu (imaji
visual)
Datang ke Salemba
“Ini dari kami bertiga (imaji
auditif)
Pita hitam pada
karangan bunga
Sebab kami ikut
berduka (imaji
taktil)
Bagi kakak yang
ditembak mati”
● Kata Konkret
Kata
konkret yang ada dalam puisi ini salah satunya terdapat dalam potongan puisi
berikut :
Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman
Maksudnya dari potongan
puisi itu merupakan suara seseorang
yang mengatakan bahwa mahasiswa tidak boleh menangis biarkan keranda
mengantarkan mayat temannya ke pemakaman.
● Bahasa Figuratif (Majas)
Bahasa
figuratif yang terdapat dalam puisi ini ada beberapa macam, salah satu
diantaranya adalah metafora atau perumpamaan yang terdapat dalam salah potongan
puisi berikut ini :
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Maksudnya
Tiga anak kecil disini
merupakan tiga orang mahasiswa yang datang ke rumah rekannya di Salemba yang
meninggal karena ditembak mati.
● Verifikasi (Rima, Ritma dan Metrum)
Dengan
menggunakan klanksymbol atau simbol
bunyi yang memiliki makna, maka didapatkan maksud dari tujuan ini yaitu : Dalam
puisi ini juga jelas menggunakan konsonan /r/ dan /l/ yang dipandang dapat
menambah suasana duka dalam puisi ini. Begitu pun penggunaan bunyi /i/ yang
dipadu dengan /a/ mampu menambah kesedihan dan terkadang peran bunyi /i/
diganti oleh /u/. Perhatikan potongan puisi berikut :
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.
● Tipografi
Tipografi
yang terdapat dalam puisi Karangan Bunga adalah pada saat menunjukan keterangan
waktu, penyair menyimpannya ke dalam larik yang berbeda. Hal ini bertujuan
untuk menjelaskan proses terjadinya sebuah kejadian.
B. Analisis Struktur Batin
● Tema
Puisi
ini bertema kan tentang pengorbanan seorang pahlawan dalam melawan golongan
tirani, yang pada akhirnya tewas ditembak dan akhirnya hanya meninggalkan
tangisan diantara keluarganya dan teman-temannya atau bisa dikatakan temanya
tentang kepahlawanan . Perhatikan potongan puisi berikut ini :
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang di tembak mati
●
Nada dan Suasana
Nada yang digunakan dalam puisi ini menggunakan nada
duka. Karena puisi ini menceritakan tentang pengorbanan seseorang yang rela
berkorban demi melawan seorang tirani dan puisi ini juga diciptakan agar dapat
membuat pembaca iba terhadap puisi ini dan menciptakan suasana yang haru.
● Rasa
Rasa
yang terdapat dalam puisi ini adalah rasa haru dan duka kepada tiga anak kecil
yang membawa karangan bunga. Perhatikan potongan puisi berikut :
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang di tembak mati
● Pesan/Amanat
Pesan
yang ada dalam puisi ini adalah, kita harus berjuang melawan ketidakadilan
terhadap tirani. Meskipun kita harus mengorbankan diri kita sendiri seperti
pengorbanan para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan.
2.5. Analisis Puisi “Kemis Pagi”
A. Analisis
Struktur Fisik
● Diksi
Diksi
yang digunakan dalam puisi ini banyak menggunakan kalimat yang panjang dan
sederhana. Meskipun demikian, hal ini tidak mengurangi keindahan puisi ini. Dan
penyair juga menggunakan kata-kata yang tepat agar mampu mewakili perasaan
penyair pada saat itu. Serta kata-kata konotasi yang digunakan cukup
bervariasi. Perhatikan potongan puisi berikut :
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
● Pengimajian
Pengimajian yang digunakan dalam puisi ini adalah imaji
visual, imaji auditif yang terdapat dalam potongan puisi :
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juta
Dan penggunaan
imaji taktil yang terdapat dalam potongan puisi :
Seorang ketika digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan perlahan dengan lemahnya.
● Kata Konkret
Kata konkret yang terdapat dalam
puisi ini salah satunya terdapat pada potongan puisi :
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juta
Maksud dari potongan puisi itu bahwa para penguasa pada
masa itu banyak menghamburkan uang rakyat demi kepentingan yang tidak
bermanfaat. Seperti pembangunan Monumen, hotel yang mewah dan sebagainya.
● Bahasa Figuratif (Majas)
Bahasa
figuratif yang digunakan dalam puisi ini adalah bahasa figuratif ironi atau bahasa
figuratif sindidran yang digunakan untuk mengkritik. Kata-kata yang digunakan
dalam puisi ini keras dan kasar. Ironi terdiri dari sinisme dan sarkasme. Jika
ironi harus mengatakan kebalikan dari apa yang diucapkan, maka sinisme dan
sarkasme tidak. Perhatikan potongan puisi berikut ini :
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya
Maksud dari potongan puisi ini bahwa
ada pihak penguasa menyebarkan fitnah terhadap para sastrawan yang menurut
mereka karyanya membuat mereka tersinggung.
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda tanpa harga di manca negara
Dan memperoleh uang emas beratus juta
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri
Merekalah pengatur jina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita.
Dalam
potongan puisi ini dijelaskan bahwa pihak penguasa akan memberikan apa yang
diperlukan oleh rakyat. Namun, pada kenyataannya tidak. Sehingga terjadi
kekacauan dalam pemenuhan bahan pangan masyarakat. Sehingga memaksa wanita
bekerja untuk orang lain yang memiliki uang yang banyak untuk memenuhi
kebutuhannya..
● Verifikasi (Rima, Ritma dan Metrum)
Dalam hal rima yang dikaitkan dengan klanksymbolik, penggunaan konsonan /ng/ yang akan memberikan makna
peristiwa yang terjadi sangat panjang serta efek vokal /a/, /i/, /u/ dan
konsonan /k/, /b/, /p/ yang memberikan efek suasana yang kacau dan efek suasana
yang penuh dengan kesibukan. Perhatikan
potongan puisi berikut :
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juta
Ritma yang digunakan dalam puisi ini menggunakan bunyi
suara yang keras. Hal ini karena penyair merasa geram terhadap pemerintahan
yang berkuasa dan bertindak sewenang-wenang. Juga penggunaan tekanan yang
digunakan disini
menggunakan tekanan yang
keras. Perhatikan potongan puisi berikut :
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juta
● Tipografi
Tipografi
yang terdapat dalam puisi Kemis Pagi memiliki larik-larik yang tidak sama
panjang dan setiap baitnya terdiri dari larik-larik yang genap dan tidak
terdapatnya tanda baca yang mungkin bertujuan agar pembaca harus lebih tahu
makna yang terkandung dalam puisi itu.
B. Analisis Struktur Batin
● Tema
Sangat jelas bahwa puisi ini bertema kan tentang
kedaulatan rakyat. Karena dalam puisi ini, penyair berusaha untuk
memperjuangkan dan menentang sikap kesewenang-wenagan tirani dari pihak yang
berkuasa.
● Nada dan Suasana
Nada yang digunakan dalam puisi ini adalah nada kritik.
Hal ini karena banyaknya kata-kata yang menyindir atau mengkritik tentang
kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa dan suasana yang digunakan pun sangat
geram akibat kesewenang-wenangan tersebut. Perhatikan potongan puisi berikut :
Merekalah pengatur jina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita.
● Rasa
Rasa
yang terdapat dalam puisi ini adalah rasa geram, benci dan kesal dengan adanya
ketidakadilan yang merajalela pada saat itu. Sehingga penyair mengeluarkan
segala emosinya dalam sebuah kata-kata untuk menunjukan rasa perasaan yang dia
rasakan.
● Pesan/Amanat
Pesan
yang terdapat dalam puisi ini adalah kita harus memperjuangkan kedaulatan
rakyat. Jangan sampai terjadi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan ada
diantara rakyat dan pemerintah.
BAB III
PENUTUP
3.2. Kesimpulan
Dalam
sebuah karya sastra pasti memiliki struktur penyusunnya. Salah satu dari karya
sastra itu adalah puisi. Puisi merupakan merupakan karya sastra yang disusun
oleh dua struktur : Versifikasi (Rima, Ritma dan Metrum)
a.
Struktur Fisik
● Diksi ● Bahasa Figuratif (Majas)
● Pengimajian
● Versifikasi
(Rima, Ritma dan Metrum)
● Kata
Konkret ● Tipografi
b.
Struktur Batin
● Tema ● Nada
dan Suasana
● Rasa ●
Pesan/Amanat
Struktur puisi diatas dapat
digunakan untuk membedah isi atau menganalisis komposisi dari sebuah puisi,
sehingga kita tahu apa hal apa saja yang menyusun sebuah puisi.
3.2. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan untuk analisis puisi ini adalah
lebih banyak mencari sumber informasi dari berbagai media. Baik itu media cetak
maupun media elektronik. Hal ini karena, menganalisis puisi merupakan hal yang
cukup rumit dalam menentukan struktur fisik maupun batinnya. Semoga dengan
adanya analisis puisi yang penulis buat dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawati.2013.Belajar Bahasa Indonesia.Klaten:Mancana
Jaya Cemerlang.
Ismail, Taufiq.1993. Tirani dan
Benteng : Dua Kumpulan Puisi. Jakarta : Yayasan Ananda.
Pradopo,
Rachmat Djoko.1987. Pengkajian
Puisi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University.
Waluyo, Herman
J. 1987. Teori dan Apresiasi
Puisi. Jakarta: Erlangga.
Lampiran :
Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya
“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
Taufiq
Ismail, 1966
Kerendahan Hati
Kalau engkau
tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak
sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau
tak mampu menjadi jalan raya
jadilah saja
jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air
Tidaklah semua
menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri
Taufiq Ismail, 1966
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan “Selamat tinggal perjuangan”
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai ke mana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
Taufiq Ismail, 1966
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
‘‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi”.
Alma Mater,
janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman
Siang ini
Anakmu yang
berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani
Taufiq
Ismail, 1966
Kemis Pagi
Hari ini kita
tangkap tangan-tangan Kebatilan
Yang selama ini
mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki
kereta-kereta kencana
Dan menggunakan
meterai kerajaan
Dengan suara
lantang memperatasnamakan
Kawula dukana
yang berpuluh juta
Hari ini kita
serahkan mereka
Untuk digantung
di tiang Keadilan
Penyebar bisa
fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun
lamanya
Mereka yang
merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli
benda-benda tanpa harga di manca negara
Dan memperoleh
uang emas beratus juta
Bagi diri
sendiri, di bank-bank luar negeri
Merekalah
pengatur jina secara terbuka
Dan menistakan
kehormatan wanita, kaum dari ibu kita.
Hari ini kita
tangkap tangan-tangan kebatilan
Kebanyakan
anak-anak muda berumur belasan
Telah kita
naiki gedung-gedung itu
Mereka semua
pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika
digiring, tersedu
Membuka sendiri
tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan
perlahan dengan lemahnya.
Taufiq Ismail, 1966