Jumat, 18 Maret 2016

Vokal dan Konsonan dalam Bahasa Sunda
A. Vokal
Vokal dalam bahasa sunda terdiri dari tujuh buah. Ketujuh vokal tersebut adalah a, e, é, eu, i, o, dan u.
/a/ diucapkan seperti dalam kata /ayah/ (contoh: abdi=saya)
/e/ diucapkan seperti dalam kata /enam/ (contoh; rewog=rakus)
/é/ diucapkan seperti dalam kata /enak/ (contoh; éling=sadar)
/eu/ (lambang fonetis: /ɤ/) mirip dengan /e/ namun mulut lebih terbuka, atau mengucapkan /e/ dengan bentuk bibir sedang mengucapkan /é/ (contoh: euweuh=tidak ada)
/i/ diucapkan seperti dalam kata /ikan/ (contoh: ieu:ini)
/o/ diucapkan seperti dalam kata /orang/ (contoh: obor=obor)
/u/ diucapkan seperti dalam kata /utang/ (contoh: mulih=pulang)

B. Konsonan
Dalam bahasa Sunda, ada 18 fonem konsonan, yakni p, b, t, d, k, g, c, j, h, ng, ny, m, n, s, w, l, r, dan y. Semuanya berbunyi sama dengan bahasa Indonesia. Untuk konsonan lain, mendapat "sundanisasi" seperti f --> p, v --> p, z --> j, sy --> s, sh --> s, kh ---> h, dan z --> j. Meski sebenarnya huruf-huruf f, v, z, sy, sh, dan kh dapat diucapkan dengan jelas oleh orang Sunda, namun kebanyakan orang lebih menyukai untuk menggunakan konsonan asli bahasa Sunda.


Sejarah Bahasa Sunda

Sejarah Bahasa Sunda
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.
Prasasti itu di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475). 
Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (Inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibu kota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Dapat diperkirakan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin  Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.
Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai  dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 18. Karena lebih mudah cara menulisnya,  naskah lebih panjang dari pada prasasti, sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanyapun lebih jelas.
Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut :
1. Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518)  “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)
2. Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).
Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India.
Setelah itu masyarakat Sunda mengenal, lalu menganut Agama Islam, lalu menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Pada masa  itu muncul  karya  Carita Parahiyangan.   Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda. Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.
Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.           
Pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda  tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.
Konon kabar sejak abad 17 (Jautuhnya Pajajaran), di tatar Sunda menggunakan naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon.
Selain itu,  tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa. Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi sosial secara nyata.
Kemudian pada Jaman Amangkurat I wilayah  kekuasaan sedikit-demi sedikit diserahkan kepada Belanda. Bahasa Sunda mulai banyak digunakan kembali pada abad ke-19. Karena Belanda pun sebelumnya menganggap Urang Sunda hanya sebagai orang Jawa gunung yang hidup didaerah barat pulau Jawa.  Raffles, Gubernur jendral Inggris di Jawa mendorong untuk melakukan penelitian tentang sejarah dan kebudayaan lokal. Dalam bukunya,  The History of Java, Raffles menyatakan bahasa Sunda itu adalah sebagai varian dari bahasa Jawa, bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai bahasa Jawa Gunung dibagian barat.
Pada masa selanjutnya para cendekiawan Belanda yang berstatus pejabat pemerintah, swasta dan para penginjil menemukan sunda sebagai etnis sendiri. Pengetahuan etnografi ini sangat dibutuhkan, paling tidak untuk mempermudah komunikasi antara Belanda dengan Pribumi. Peristiwa penemuan ini ditunjang pula oleh upaya pemerintah kolonial bekerjasama dengan para Sarjana Belanda, membagi Nusantara kedalam wilayah Budaya yang berbeda-beda, antara lain Jawa, Sunda, Madura yang masing-masing dengan bahasa mereka sendiri.
Belanda tentunya memiliki tujuan, karena masing-masing wilayah memiliki potensi alam yang berbeda. Seperti daerah Priangan sangat penting dari segi ekonomi, karena sebagai penghasil kopi. Belanda mendorong para elite lokal untuk menjalankan roda administrasinya sendiri, serta mendorong untuk belajar pendidikan formal. Dari sini para Bumiputra menyadari, bahwa memang ada perbedaan bahasa dan budaya diantara mereka.
Pada tahun 1829 M, Andries de Wilde, seorang pengusaha perkebunan di Sukabumi melakukan studi etnografi tentang daerah Priangan. Ia berpendapat bahwa bahasa sunda merupakan bahasa tersendiri. Cuplikan pendapatnya, sebagai berikut :
Bahasa yang dituturkan diwilayah ini adalah bahasa sunda. Bahasa ini berbeda dengan bahasa Jawa dan Melayu. Namun demikian, ada banyak kata-kata yang pelan-pelan masuk atau diambil dari kedua bahasa yang disebut belakangan. Aksara yang dipakai para ulama adalah Arab ; banyak pemimpin lokal juga menegenal bahasa itu ; jika tidak memakai aksara itu, penduduk pada umumnya memakai aksara Jawa.
Kemudian dalam revisi yang dilakukannya pada tahun 1830, ia mengumpulkan banyak kata-kata Sunda mengenai pertanian, adat istiadat, dan Islam. Hasil penelitiannya semakin meneguhkan bahwa Sunda adalah etnis tersendiri.
          Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedangkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde.
Kemudian Roorda membuat pernyataan : Pertama-tama (kamus) ini bermanfaat, khususnya supaya bisa lebih kenal dekat dengan bahasa yang sampai sekarang pengetahuan kita mengenainya sangat sedikit dan tidak sempurna ; bahasa itu dituturkan di wilayah barat pulau Jawa, yang oleh penduduk setempat disebut Sunda atau Sundalanden, yang berbeda dari bahasa di wilayah timur pulau itu ; bahasa itu sangat bebeda dengan yang pantas disebut bahasa jawa dan juga melayu, yaitu bahasa yang digunakan orang-orang asing di kepulauan Hindia Timur.
Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.  Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.
Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.
Sejak tahun 1950-an  pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur  dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bandung. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan "sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda terus berlanjut.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa bahasa sunda merupakan bahasa yang dinamis. Bahasa  Sunda   mendapat  pegaruh  dari  berbagai macam bahasa seperti India, Jawa, Arab, Belanda dan Melayu.
Pengaruh  dari  bahasa  arab  yaitu  penyerapan  kosakata  dimulai  dengan  masuknya  pengaruh  lslam  ke  Sunda, yang  kemudian  berkembang  dengan  kerajaan  Cirebon  dan  Banten.

        Pengaruh  bahasa  Jawa  pada  bahasa   Sunda   karena  tanah  Sunda  pernah  menjadi  wilayah  kerajaan Mataram  lslam,   yang  terlihat  adalah  penggunaan  beberapa  kosakata  jawa,   dan  tingkatan  berbahasa  yaitu normal  dan  lemes (sopan). Bahasa Sunda, pada umumnya, ditulis menggunakan tulisan latin walaupun memiliki aksara tradisional.