Sejarah Bahasa Sunda
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang
Sunda dalam komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini
lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk
prasasti berasal dari abad ke-14.
Prasasti itu di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam
dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini
ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).
Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg
di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh,
nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya
dina buana” (Inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu
yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang
membuat parit pertahanan sekeliling ibu kota, yang menyejahterakan seluruh
negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar
lama berjaya di dunia).
Dapat diperkirakan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh
masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin Bahasa Kw’un Lun
yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di
wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah
Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.
Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak
dijumpai dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau,
kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 18. Karena
lebih mudah cara menulisnya, naskah lebih panjang dari pada
prasasti, sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur
bahasanyapun lebih jelas.
Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut :
1. Berbentuk
prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga
rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah
urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur
sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar
penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita
tidak memiliki apa-apa!)
2. Berbentuk
puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg
darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma”
(Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya
penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang
paham Sewaka Darma).
Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata
dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India.
Setelah itu masyarakat Sunda mengenal, lalu menganut Agama Islam, lalu
menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16.
Pada masa itu muncul karya Carita
Parahiyangan. Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal
dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Hal
ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam
perbendaharaan kata Bahasa Sunda. Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam
hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian
banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak
dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.
Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan
oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri.
Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada
sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan
bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa
dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah
kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa
Buda, Sanghyang Hayu.
Pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat
Sunda tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19
sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi
Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa
Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan.
Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa
percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil
terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih
tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan
menggunakan Aksara Pegon.
Konon kabar sejak abad 17 (Jautuhnya Pajajaran), di tatar Sunda
menggunakan naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara
Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon.
Selain itu, tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa
kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang
disebut Unggah Ungguh Basa. Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa
terjadilah stratifikasi sosial secara nyata.
Kemudian pada Jaman Amangkurat I wilayah kekuasaan
sedikit-demi sedikit diserahkan kepada Belanda. Bahasa Sunda mulai banyak
digunakan kembali pada abad ke-19. Karena Belanda pun sebelumnya menganggap
Urang Sunda hanya sebagai orang Jawa gunung yang hidup didaerah barat pulau
Jawa.
Raffles, Gubernur
jendral Inggris di Jawa mendorong untuk melakukan penelitian tentang sejarah
dan kebudayaan lokal. Dalam bukunya,
The History of Java, Raffles menyatakan bahasa Sunda itu adalah
sebagai varian dari bahasa Jawa, bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda
sebagai bahasa Jawa Gunung dibagian barat.
Pada masa selanjutnya para cendekiawan Belanda yang berstatus pejabat
pemerintah, swasta dan para penginjil menemukan sunda sebagai etnis sendiri.
Pengetahuan etnografi ini sangat dibutuhkan, paling tidak untuk mempermudah
komunikasi antara Belanda dengan Pribumi. Peristiwa penemuan ini ditunjang pula
oleh upaya pemerintah kolonial bekerjasama dengan para Sarjana Belanda, membagi
Nusantara kedalam wilayah Budaya yang berbeda-beda, antara lain Jawa, Sunda,
Madura yang masing-masing dengan bahasa mereka sendiri.
Belanda tentunya memiliki tujuan, karena masing-masing wilayah memiliki
potensi alam yang berbeda. Seperti daerah Priangan sangat penting dari segi
ekonomi, karena sebagai penghasil kopi. Belanda mendorong para elite lokal
untuk menjalankan roda administrasinya sendiri, serta mendorong untuk belajar
pendidikan formal. Dari sini para Bumiputra menyadari, bahwa memang ada
perbedaan bahasa dan budaya diantara mereka.
Pada tahun 1829 M, Andries de Wilde, seorang pengusaha perkebunan di
Sukabumi melakukan studi etnografi tentang daerah Priangan. Ia berpendapat
bahwa bahasa sunda merupakan bahasa tersendiri. Cuplikan pendapatnya, sebagai
berikut :
Bahasa yang dituturkan diwilayah ini adalah bahasa sunda. Bahasa ini
berbeda dengan bahasa Jawa dan Melayu. Namun demikian, ada banyak kata-kata
yang pelan-pelan masuk atau diambil dari kedua bahasa yang disebut belakangan.
Aksara yang dipakai para ulama adalah Arab ; banyak pemimpin lokal juga
menegenal bahasa itu ; jika tidak memakai aksara itu, penduduk pada umumnya memakai
aksara Jawa.
Kemudian dalam revisi yang dilakukannya pada tahun 1830, ia mengumpulkan
banyak kata-kata Sunda mengenai pertanian, adat istiadat, dan Islam. Hasil
penelitiannya semakin meneguhkan bahwa Sunda adalah etnis tersendiri.
Bahasa Sunda resmi
diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan
diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan
Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang
Sarjana bahasa Timur. Sedangkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De
Wilde.
Kemudian Roorda membuat pernyataan : Pertama-tama (kamus) ini bermanfaat,
khususnya supaya bisa lebih kenal dekat dengan bahasa yang sampai sekarang
pengetahuan kita mengenainya sangat sedikit dan tidak sempurna ; bahasa itu
dituturkan di wilayah barat pulau Jawa, yang oleh penduduk setempat disebut
Sunda atau Sundalanden, yang berbeda dari bahasa di wilayah timur pulau itu ;
bahasa itu sangat bebeda dengan yang pantas disebut bahasa jawa dan juga
melayu, yaitu bahasa yang digunakan orang-orang asing di kepulauan Hindia
Timur.
Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai
bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya
sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam
kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak
dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah. Pada
awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda
dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat
oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam
Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.
Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi
antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan
mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan
dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada
keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa
Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.
Sejak tahun 1950-an pemakaian Bahasa Sunda telah
bercampur dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda
yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bandung. Banyak orang
Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam
kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di
kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan
fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda
dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa
lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan
Bahasa Sunda dalam pergaulan "sehari-harinya. Karena itu, kiranya
keberadaan Bahasa Sunda terus berlanjut.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa bahasa sunda merupakan bahasa yang
dinamis. Bahasa Sunda mendapat pegaruh dari berbagai
macam bahasa seperti India, Jawa, Arab, Belanda dan Melayu.
Pengaruh dari bahasa arab yaitu penyerapan kosakata dimulai dengan masuknya pengaruh lslam ke Sunda, yang kemudian berkembang dengan kerajaan Cirebon dan Banten.
Pengaruh bahasa Jawa pada bahasa Sunda karena tanah Sunda pernah menjadi wilayah kerajaan Mataram lslam, yang terlihat adalah penggunaan beberapa kosakata jawa, dan tingkatan berbahasa yaitu normal dan lemes
(sopan). Bahasa Sunda, pada umumnya, ditulis menggunakan tulisan latin walaupun
memiliki aksara tradisional.