Dalam konteks analisis
wacana, kata atau kalimat yang berposisi sebagai wacana diisyaratkan memiliki
kelengkapan makna informasi dan konteks tuturan yang jelas dan mendukung.
Sementara ini, berdasarkan aspek semantisnya, kalimat memiliki makna sebagai
serangkaian kata yang menyatakan pikiran dan gagasan yang lengkap serta logis.
Kalimat juga dapat disebut sebagai ucapan bahasa yang memiliki arti penuh dan
batas keseluruhannya ditentukan oleh intonasi sempurna. Kebermaknaan suatu
kalimat ditentukan oleh ketergantungan kepada makna kalimat lain yang menjadi
rangkaiannya. Pada dasarnya sebuah kata dan kalimat dapat bermakna, karena
mengandalkan unsur lain yang menjadi pasangan ketergantungannya.
Kesendirian
atau kemandirian kalimat sesungguhnya hanyalah kenisbian belaka. Dalam
pandangan wacana, setiap kalimat adalah bagian dari keseluruhan struktur yang
lebih besar. Meskipun setiap kalimat bisa berdiri sendiri, tetapi dalam
kesendirian itu ada batas-batas tertentu. Karena memang ada kaitannya antara
kalimat-kalimat itu. Jadi, kalimat itu pada satu pihak berdiri sendiri, tetapi
dipihak lain masih bergantung pada kehadiran kalimat lain. Walaupun ada kalimat
yang mampu berdiri sendiri, ia masih tetap terikat dalam satu hubungan yang
lebih besar, yaitu dimana ia diucapkan.
Untuk
dapat memahami pernyataan di atas, mari kita perhatikan kalimat pendek berikut
ini!
2. Dia memang pintar.
Berdasarkan
kaidah sintaksis dan semantik, kalimat (2) di atas merupakan kaimat yang benar
tata bahasanya dan jelas maknanya. Namun, berdasarkan pandangan kewacanaan,
masih banyak persoalan yang perlu diungkapkan. Misalnya, siapakah yang dimaksud
dengan dia, siapa pula yang mengucapkan
kalimat itu, dan dalam konteks apa kalimat itu muncul. Munculnya beberapa
pertanyaan tadi, jelas menunjukan bahwa kalimat tersebut belum menunjukan
adanya kelengkapan makna dan informasi. Sebab pada dasarnya kalimat itu muncul
(diucapkan) karena ada kondisi yang melatarbelakanginya. Jadi ada unsur lain
yang melingkupnya.
b. Teks
dan Koteks
Banyak orang yang mempertukarkan istilah
“teks” dan “wacana”. Sebenarnya, istilah teks lebih dekat pemaknaannya dengan
bahasa tulis, dan wacana pada bahasa lisan. Dalam tradisi tulis, teks bersifat
“monolog noninteraksi”, dan wacana lisan bersifat “dialog interaksi”. Dalam
konteks ini, teks dapat disamakan dengan naskah, yaitu semacam bahan tulisan
yang berisi materi tertentu, seperti naskah materi kuliah, pidato dan lainnya.
Jadi perbedaan kedua istilah itu semata-mata terletak pada segi (jalur)
pemakainya saja.
Namun demikian, atas dasar perbedaan
penekanan itu pula kemudian muncul dua tradisi pemahaman di bidang linguistik,
yaitu “analisis linguistik teks” dan “analisis wacana”. Analisis linguistik
teks langsung mengandalkan objek kajiannya berupa bentuk formal bahasa, yaitu
kosakata dan kalimat. Sedangkan analisis wacana mengharuskan disertakannya
analisis tentang konteks terjadinya suatu tuturan.
Sebenarnya, teks adalah wujud pokok bahasa.
Dengan kata lain, teks direalisasi (diucapkan) dalam bentuk “wacana”. Berkaitan
dengan teks, didapati pula istilah koteks (co-text),
yaitu teks yang bersifat sejajar, koordinat, dan memiliki hubungan antara teks
yang satu dengan teks lainnya.
Teks lain tersebut bisa berada di depan
(mendahului) atau di belakang (mengiringi). Berikut ini adalah sebuah tulisan
yang digantungkan orang di lorong akhir suatu jalan di kampung.
3. Terima kasih.
Wacana
(3) itu jelas-jelas merupakan wacana potongan. Makna dan interpretasi apa yang
dapat diambil dari gantungan tulisan itu? Ternyata ada wacana atau teks lain
yang sebelumnya tergantung di lorong masuk jalan kampung tersebut yaitu :
4. Jangan mengebut! Banyak anak-anak.
Wacana
(4) peringatan bagi orang yang akan melewati lorong kampung itu. Apabila para
pengendara motor telah menaatinya, misalnya dengan memperlambat laju
kendaraannya, maka wacana (3) adalah sebuah contoh ucapan
yang akan diberikan
masyarakat kepada para pengguna jalan (lorong) tersebut. Inilah yang dinamakan
hubungan antara teks satu dengan teks yang lainnya. Hal yang sama dapat terjadi
misalnya, antara “Selamat Datang” dengan teks “Selamat Jalan”. Salah satu teks
itu ada yang berkedudukan sebagai koteks atau teks penjelas bagi teks lainya.
Dalam teks panjang, sering terdapat kata yang harus
dicarikan makna (informasi)-nya pada kata (bagian) lainnya. Mari kita
perhatikan kalimat berikut!
5. Jackman tampak lusuh. Jalannya sempoyongan.
Tetapi wajahnya menunjukan keceriaan. Dia baru pulang dari Australia.
Bentuk
dia pada kalimat terakhir, mengacu
pada nama Jackman yang disebutkan
sebelumnya. Penafsiran ini jelas benar, karena didasarkan pada teks lain yang
menjadi penjelas kata Dia. Maka dalam
hal ini, Jackman adalah koteks bagi
bentuk dia.
Keberadaan
koteks dalam suatu struktur wacana menunjukan bahwa teks tersebut memiliki
struktur yang saling berkaitan. Gejala inilah yang menyebabkan suatu wacana
menjadi utuh dan lengkap. Koteks, dengan demikian berfungsi sebagai alat bantu
untuk memahami dan menganalisis sebuah wacana.
2.2.
Unsur Eksternal Wacana Monolog
Unsur ekstern (unsur luar) wacana monolog adalah sesuatu
yang menjadi bagian wacana, namun tidak tampak secara eksplisit
(tersurat/tertulis). Sesuatu itu berada di luar satuan lingual bahasa dalam wacana.
Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal
ini terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi dan konteks.
Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut dapat membantu pemahaman
tentang suatu wacana.
a. Implikatur
Implikatur
adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya
diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang tidak
dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud,
keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
Dalam
lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi
bahan pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai
jembatan/rantai yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang
diimplikasikan”. Implikatur juga sangat erat kaitannya dengan dengan konvensi
kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Jika dalam dalam suatu
komunikasi salah satu tidak paham dengan arah pembicaraan (komunikasi), maka
seringkali ditanyakan, “Sebenarnya apa implikasi ucapan Anda tadi?”
Ada
dua macam implikatur yaitu implikatur konvensional (conventional implicature), dan implikatur percakapan (conversation implicature). Implikatur
konvensional adalah implikatur yang terjadi tanpa adanya sebuah percakapan
(monolog) dan bersifat konvensional (umum), sedangkan implikatur percakapan
hanya dapat terjadi jika telah terjadi sebuah interaksi antara dua orang
(dialog) dan bersifat nonkonvensional (sesuatu yang diimplikasikan tidak
mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan).
Kita
tahu bahwa sifat dari implikatur konvensional ini sangatlah umum atau semua
orang sudah mengerti maksudnya. Berikut ini ada dua contoh dari implikatur konvensional dalam wacana monolog yaitu
:
6. Chris John adalah petarung yang indah.
7. Lestari putrid Solo, jadi ia luwes.
Kata petarung pada wacana (6) berarti “atlet
tinju”. Pemaknaan ini benar, karena secara umum (konvensional), orang sudah
mengetahui bahwa Chris John adalah atlet tinju. Jadi, dalam konteks wacana
tersebut, orang tidak akan memaknai kata petarung dengan pengertian yang lain.
Begitupun dengan wacana (7), selama ini kota Solo selalu mendapat predikat
sebagai kota kebudayaan dengan kehalusan dan keluwesan putri-putrinya.
Implikasi yang muncul pada wacana ini adalah, bahwa perempuan atau wanita Solo
umumnya dikenal luwes (menarik) akan penampilannya.
Ada
contoh lain dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur
tidak mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak akan di
ucapkan justru
“disembunyikan”, diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama
sekali berbeda dengan maksud ucapannya. Perhatikan bentuk-bentuk percakapan di
bawah ini untuk menambah wawasan pembaca.
8. Ibu :
Ayu, adikmu belum makan.
Ayu : Ya, Bu. Lauknya apa?
9. Guru :
Kelasnya panas sekali, ya.
Murid : Jendelanya dibuka ya, Pak?
Percakapan antara Ibu dengan Ayu pada contoh (8)
mengandung sebuah implikatur yang bermakna “perintah menyuapi”. Dalam tuturan
itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan Ibu
hanyalah pemberitahuan bahwa “adik belum makan”. Namun, Ayu dapat memahami
implikatur yang disampaikan Ibunya, ia menjawab dan siap untuk melaksanakan
perintah ibunya tersebut.
Gejala yang hampir sama terjadi pada contoh (9), yaitu
perintah guru untuk melakukan sesuatu agar panas di kelas berkurang. Murid yang
paham maksud gurunya, segera membuka jendela.
b. Presuposisi
Istilah
presuposisi adalah turunan dari bahasa Inggris presupposition, yang berarti “perkiraan, persangkaan”. Semua
pernyataan memiliki praanggapan, yaitu rujukan atau referensi dasar. Rujukan
inilah yang menyebabkan suatu ungkapan wacana dapat diterima atau dimengerti
oleh pasangan bicara, yang pada gilirannya komunikasi tersebut akan dapat
berlangsung dengan lancar.
“Rujukan”
itulah yang dimaksud dengan “Praanggapan”, yaitu anggapan dasar atau
penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk
bahasa menjadi bermakna bagi pembaca/pendengar. Praanggapan membantu pembicara
menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat) untuk menyampaikan makna atau pesan
yang akan disampaikan. Jadi, semua pernyataan atau ungkapan kalimat, baik
bersifat negatif maupun positif, tetap mengandung anggapan dasar sebagai isi
dan substansi kalimat. Sebagai contoh :
10. Kuliah Analisis Wacana diberikan di semester
VI.
Praanggapan
untuk pernyataan itu adalah : (1) ada kuliah Analisis Wacana, dan (2) ada
semester V. Bila kalimat tersebut dinegatifkan, akan berubah sebagai berikut
ini :
11. Kuliah Analisis Wacana tidak diberikan di
semester VI.
Praanggapan
untuk kalimat (11) tetap sebagaimana semula, yaitu (1) ada kuliah Analisis
Wacana, dan (2) ada semester V.
Adapun
praanggapan dalam suatu wacana dialog yaitu suatu praanggapan merupakan
“pengetahuan bersama” antara pembicara dan pendengar. Sumber praanggapan adalah
pembicara. Artinya, perkiraan pengetahuan mengenai sesuatu hal dimulai oleh
pembicara ketika pembicara mulai mengutarakan suatu tuturan. Hal itu bisa
terjadi karena pembicara memperkirakan orang yang diajak bicara sudah
mengetahui hal yang akan diucapkannya. Contohnya sebagai berikut.
12. Jack :
Ayam bangkokku sudah laku lagi.
Hugh : Harganya seperti kemarin?
Pembicara
pertama dalam dialog (12) tidak perlu mengutarakan terlebih dahulu suatu
pemberitahuan bahwa ia mempunyai ayam Bangkok. Hal itu karena pembicara sudah
beranggapan bahwa orang yang diajak sudah mengetahui apa yang dimaksudkan.
Bahkan, jawaban Hugh mengisyaratkan bahwa besar kemungkinan Hugh sudah
mengetahui harga ayam Bangkok yang dijual Jack pada waktu sebelumnya. Oleh
karena itu, Hugh tidak perlu bertanya lagi “Apakah kamu punya ayam Bangkok?”
Jadi
kesimpulannya adalah, makin akrab (minimal adanya keterkaitan) hubungan antara
pembicara dengan pasangan bicaranya, maka akan semakin banyak kedua pihak
berbagi pengalaman dan pengetahuan. Semakin banyak praanggapan yang mereka
miliki, maka tidak perlu diutarakan secara verbal. Oleh karena itu, praanggapan
hanya ditujukan kepada pendengar yang menurut pembicara, memiliki pengetahuan
seperti yang dimiliki pembicara.
c. Referensi
Secara tradisional, referensi adalah hubungan
antara kata dengan benda (orang, tumbuhan dan sesuatu yang lainya) yang
dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/penulis. Jadi, yang
menentukan suatu referensi dalam sebuah tuturan adalah pihak pembicara sendiri,
sebab hanya pihak pembicara yang piling mengetahui hal yang diujarkan dengan
hal yang dirujuk oleh ujarannya. Pendengar atau pembicara hanya dapat menerka
hal yang dimaksud (direferensikan) oleh pembicara dalam ujarannya itu. Terkaan
itu bersifat relatif. Bisa benar, bisa pula salah.
Dengan kata lain, tugas pendengar atau
pembaca dalam memahami ujaran adalah mengidentifikasi sesuatu atau seseorang
yang ditunjuk atau dimaksud dalam ujaran tersebut. Kemampuan mengidentifikasi
atau menerka rujukan itu sering kali berbeda dengan yang dimaksud pembicara.
Perbedaan terkaan itu disebabkan oleh perbedaan representasi atau pemahaman
dunia antara pembicara dengan pendengar. Oleh karena itu, dalam memahami atau
menganalisis wacana, diperlukan pengetahuan dan pengalaman tentang dunia. Setidaknya
tentang “dunia” atau isi yang terdapat dalam wacana.
Dilihat dari acuannya, referensi dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu referensi eksofora (situasional/kontekstual) dan
referensi endofora, (tekstual).
Referensi endofora dapat dipilah menjadi menjadi dua jenis yaitu referensi
anafora (anaphora), dan referensi
katafora (cataphora).
Referensi eksofora adalah penunjukan atau
pemahaman terhadap kata yang relasinya terletak dan bergantung pada konteks
situasional. Bila pemahaman ini terletak di dalam teks itu sendiri, maka relasi
penunjukan itu dinamakan referensi endofora. Contoh wacana terjadinya wacana
eksofora.
13. Itu rumah.
Kata itu menunjuk pada sesuatu, yaitu rumah. Rumah yang dimaksud, “tempatnya”, tidak
terdapat dalma teks, melainkan berada di luar teks. Jadi, referensi eksofora
itu mengaitkan langsung antara teks dengan sesuatu yang ditunjuk di luar teks
tersebut
Referensi
anafora adalah hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya dalam
teks. Hubungan ini menunjuk pada sesuatu atau anteseden yang telah disebutkan
sebelumnya. Contohnya ada pada wacana berikut
14. Juna menulis buku. Dia memang produktif.
Kata dia pada kalimat kedua mengacu pada Juna, yaitu nama yang telah disebut
sebelumnya (pada kalimat pertama). Pola pengacuan masih merujuk pada
sesuatu/seseorang yang berada dalam teks. Jadi, tidak perlu dicari nama Juna yang mana. Sementara itu, referensi
katafora bersifat sebaliknya, yaitu mengacu kepada anteseden yang akan
disebutkan sesudahnya. Referensi katafora dapat ditemukan pada contoh berikut.
15. Buku pewayangan sangat terkenal. Ramayana.
Kata buku pada kalimat pertama mengacu pada
anteseden yang disebut sesudahnya, yaitu Ramayana.
Penunjukan itu sekaligus menjadi jawabannya. Gejala referensi katafora semacam
ini sangat jarang ditemukan dalam bahasa yang berpola DM
(diterangkan-menerangkan). Sehingga contoh (15) tersebut serasa agak janggal
atau kurang lazim di dalam bahasa Indonesia. Susunan yang dapat diterima
seharusnya adalah sebagai berikut.
15a.
Ramayana adalah buku pewayangan yang sangat terkenal.
Dalam bahasa Inggris, referensi katafora
justru banyak terjadi, misalnya pada contoh berikut ini.
16. It’s going down quickly, the sun.
Kata it menunjukan kepada sesuatu yang
disebut berikutnya, yaitu the sun. Sementara
itu, menurut jenisnya referensi dapat dipilah menjadi tiga jenis, yaitu
referensi personal, referensi demonstratif, dan referensi komparatif. Referensi
personal meliputi kata ganti orang (pronominal
persona) pertama, tunggal (saya, aku), kata ganti orang kedua (kamu,
engkau, Anda, kalian), dan kata ganti orang ketiga (dia, mereka). Referensi
demonstratif adalah kata ganti petunjuk ini, itu, di sana, di situ. Referensi
komparatif adalah penggunaan yang bernuansa perbandingan. Misalnya, seperti,
bagaikan, sama, identik, dan serupa.
Berdasarkan
bentuknya, referensi dapat dipilah menjadi tiga bagian yaitu : referensi dengan
nama, referensi dengan kata ganti, referensi dengan pelesapan. Referensi dengan
nama dipakai untuk memperkenalkan topik (subyek) yang baru, atau justru untuk
menegaskan bahwa topiknya masih sama, sehingga tidak perlu disebut lagi pada
bagian-bagian sesudahnya. Dalam kalimat majemuk, biasanya subyek dan predikat
yang masih sama hanya akan disebut satu kali saja dan tidak perlu diulang-ulang
pada bagian berikutnya. Perhatikan contoh berikut.
17. Enrique biasa menulis cerpen, cerbung, dan
novel.
Sebenarnya,
sebelum cerbung dan novel, terdapat subyek dan predikat (Enrique menulis) yang menyertainya. Akan tetapi, karena topiknya masih sama dengan
yang disebut sebelumnya, maka hal itu tidak diulang lagi.
Referensi
dengan kata ganti (pronominalisasi) juga digunakan untuk menegaskan bahwa
topiknya masih sama. Di samping itu, referensi ini juga sering digunakan untuk
meletakan tingkat fokus yang lebih tinggi pada topik yang dimaksud. Jika
topiknya orang, maka pronominalisasi dipresentasikan dengan pronominal persona
(I, II, dan III). Sedangkan, jika topiknya bukan orang atau tidak hidup,
pronominalisasi dapat diwujudkan dengan kata ganti penunjuk (ini, itu, di sana,
di situ, dan sebagainya). Sebagai contoh perhatikan wacana berikut.
18. Julian terpilih menjadi lurah di Karangjati.
Dia dikenal dekat dengan warganya. Desa itu memang membutuhkan pemimpin yang
memiliki sifat merakyat.
Bentuk
dia pada kalimat kedua mengacu pada
topik/subyek orang yang bernama Julian,
sedangkan desa itu menunjuk pada Desa Karangjati.
Referensi
dengan pelepasan adalah penghilangan bagian-bagian tertentu dalam suatu kalimat
untuk menunjukan masih adanya pengacuan bentuk dan makna di dalam kalimat
lainnya. Salah satu fungsi pelesapan adalah untuk mendapat efek efisiensi atau
keefektifan suatu bahasa. Gejala pelepasan dapat dibentuk seperti pada contoh
(17). Dengan mengilangkan kata biasa
maka kalimatnya menjadi lebih efektif.
d. Inferensi
Inferensi atau inference secara leksikal berarti kesimpulan. Dalam bidang wacana,
istilah itu berarti sebagai proses yang harus dilakukan pembaca untuk memahami
makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh
pembicara/penulis. Pembaca harus dapat mengambil pengetian, pemahaman, atau
penafsiran suatu makna tertentu. Dengan kata lain, pembaca harus mampu
mengambil kesimpulan sendiri, meskipun makna itu tidak terungkap secara
eksplisit.
Inferensi adalah proses interpretasi yang
ditentukan oleh situasi dan konteks. Dengan cara itu, pendengar/pembaca dapat
menduga maksud dari pembicara/penulis. Dengan itu pula, pendengar mampu
memahami apa yang disampaikan pembicara/penulis. Di samping itu, aspek konteks
situasional dan aspek sosio-kultural juga menjadi faktor penting dalam memahami
wacana inferensi. Perhatikan contoh berikut :
19. Sudah masuk kota, kita cari gudeg.
Kota
yang dimaksud dalam percakapan tersebut adalah Yogyakarta. Penjelasan itu
dipastikan benar, karena secara kultural Yogyakarta dikenal sebagai kota gudeg.
Proses inferensi inilah yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk
mendapatkan kesimpulan yang jelas.
Untuk memahami atau menafsirkan wacana yang
mengandung interferensi, dapat diterapkan dua prinsip, yaitu prinsip analogi
(PA) dan prinsip penafsiran lokal (PPL). Prinsip analogi adalah cara
menafsirkan makna wacana yang didasarkan pada akal atau pengetahuan tentang
dunia dan pengalaman umumnya. Sedangkan prinsip penafsiran lokal menganjurkan
kepada pembaca untuk memahami wacana berdasarkan “konteks lokal” yang
melingkupi wacana itu sendiri. Pembaca dan pendengar harus membuat dan sekaligus
membatasi wilayah penafsiran.
Untuk sampai kepada suatu tafsiran, pembaca
tidak perlu mencari konteks yang lebih luas dari yang diperlukan. Hal itu
dimungkinkan karena di sekitar (lingkungan) pemakaian wacana, tersedia hal-hal
yang dapat membantu proses penafsiran makna wacana. Hal-hal itu antara lain
misalnya, kalimat penjelas, ilustrasi (bisa wujud gambar atau lainnya), dan konteks
yang menjelaskan latar terjadinya sebuah wacana monolog itu.
e. Konteks
wacana
Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang
bersifat komunikatif, interpretatif dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa
itu selalu diandaikan terjadi secara dialog maupun monolog, sehingga perlu
adanya kemampuan menginterpretasikan, dan memahami konteks terjadinya wacana
tersebut.. Pemahaman terhadap konteks wacana, pada dasarnya diperlukan dalam
proses menganalisis wacana monolog secara utuh.
Konteks adalah situasi atau latar terjadinya
suatu komunikasi, baik satu arah maupun dua arah. Konteks dapat juga dianggap
sebagai sebab dan alasan ter-jadinya suatu pembicaraan. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun
informasinya, sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa
tuturan itu. Baik itu dalam bentuk lisan, maupun dalam bentuk tulisan.
Pada hakikatnya, wacana monolog adalah wujud nyata
komunikasi verbal manusia dalam bentuk tulisan maupun lisan. Oleh karena itu,
wacana selalu mengandaikan adanya seseorang yang disebut sebagai pembicara,
penulis, penyapa atau penutur. Keterpahaman terhadap tuturan baik lisan maupun
tulisan, sangat bergantung pada bagaimana pembaca/pendengar memahami tuturan
yang bersifat kontekstual.
Salah satu unsur konteks yang cukup penting adalah waktu
dan tempat. Contoh (19) menggambarkan bagaimana kedua unsur tersebut sangat
berpengaruh terhadap makna dalam sebuah wacana.
20. Waktu pukul enam sore, Desa Tirtomoyo sudah
tampak sunyi seperti kuburan. Terpaksa aku menutup pintu rumah. Masuk, dan
tiduran. Aku terbangun pukul tiga pagi. Tidak dikira, ternyata di jalan sudah
banyak orang lalu lalang.
Contoh
(19) memberi informasi tentang “keadaan suatu desa berdasarkan konteks tempat
dan waktu”. Pemahaman tentang keadaan dan keramaian desa umumnya berbeda dengan
kondisi di perkotaan. Informasi itu bahkan bisa bermakna sebaliknya. Jam 18:00
petang, di desa, terutama di daerah pelosok, barangkali sudah dianggap malam
(indikasinya sudah gelap, karena belum ada penerangan listrik, dan sebagainya).
Sementara di kota, konteks waktu seperti itu masih dianggap sore. Sebaliknya,
jam 03:00 pagi buta, di desa sudah dianggap pagi (kerja), sementara di kota,
bahkan masih sangat malam. Penafsiran ini semata-mata berdasarkan pada kondisi
dan kebiasaan saja. Bila itu dikaitkan dengan kesibukan kerja, misalnya, di
terminal, di pasar, atau di tempat lain, tentu pemahaman tentang makna dan
informasinya juga akan mengalami perubahan. Konteks yang berkaitan dengan
penutur wacana juga sangat berperan dalam memahami makna dan informasi tuturan.
Menurut
Anton M. Moelino dan Samsuri, konteks terdiri atas beberapa hal, yakni situasi,
partisipan, waktu, tempat, adegan topic, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan
saluran.
Dell
Hymes konteks merumuskan dengan baik sekali faktor-faktor penentu peristiwa
tutur tersebut, melalui akronim SPEAKING.
Tiap-tiap fonem mewakili faktor penentu yang dimaksudkan.
S :
Setting and scene, yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat
fisik, yang meliputi tempat dan
waktu terjadinya sebuah tuturan, baik
lisan maupun tulisan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih
mengacu pada suasana psikologis
yang menyertai peristiwa tuturan itu.
P :
Participants, siapa saja yang terlibat
dalam sebuah tuturan, baik itu lisan
maupun tulisan.
Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan, bisa saja usia,
maupun pendidikan, yang menjadi
perhatian.
E : Ends, hasil dari suatu
pembicaraan ataupun hasil dari suatu pendengaran
atau hasil bacaan dari sebuah wacana
itu sendiri.
A :
Act sequences, pesan/amanat
yang terdiri dari bentuk pesan dan isi pesan
yang didapat setelah membaca atau mendengarkan.
K :
Key, meliputi cara, nada, sikap,
atau semangat dalam melakukan ataupun
menuliskan sebuah tuturan.
Semangat dalam melakukan dan menuliskan
sebuah tuturan bisa saja santai,
serius, akrab.
I :
Intrumentalities, sarana dalam melakukan
sebuah tuturan. Maksudnya
dengan media apatuturan itu disampaikan.
Misalnya dengan cara lisan,
tulisan, surat, radio, televisi.
N : Norms, menyangkut pada norma dan aturan yang
membatasi tuturan atau
suatu tulisan tersebut. Hal ini
tentang apa yang harus dibicarakan dan hal
apa saja yang tidak harus
dibicarakan dan dituliskan. Baik itu kasar, halus,
terbuka, sampai jorok sekalipun.
G :
Genres, hal ini berhubungan dengan
jenis atau bentuk wacana. Misalnya
wacana koran, wacana puisi dan ceramah.
Uraian tentang konteks terjadinya suatu wacana monolog,
menunjukan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk
menafsirkan sebuah wacana monolog. Kesimpulannya, secara singkat dapat
dikatakan in language, context is
everything. Dalam berbahasa, konteks adalah segala-galanya. Pernyataan itu
mengisyaratkan, betapa luas ruang lingkup yang harus ditelusuri dalam kajian
wacana monolog. Lebih-lebih, betapa banyak bekal yang harus dipersiapkan untuk
mengkaji sebuah wacana.
Melalui pembelajaran mengenai unsur yang menyusun sebuah
wacana monolog yaitu unsur internal dan unsur eksternal, kita dapat mengetahui
hal-hal apa saja yang harus kita lakukan dalam mengkaji sebuah wacana monolog.
Karena berkat unsur-unsur inilah sebuah wacana monolog dapat terbentuk.
Ibaratnya kita memakan sebuah kue. Ketika kita menyukai kue tersebut kita pasti
akan penasaran dengan bahan-bahan atau unsur-unsur apa saja yang digunakan
dalam pembuatan kue tersebut. Sama halnya dengan sebuah wacana yang indah.
Ketika kita membacanya, pasti kita juga ingin membuat karya yang bagus seperti
yang kita baca. Melalui pembelajaran unsur yang menyusun wacana monolog juga,
kita dapat membuat sebuah karya yang indah itu.