Jumat, 22 Januari 2016

Makalah Analisis Wacana Monolog
Unsur Internal dan Unsur Eksternal Wacana Monolog
Dosen Mata Kuliah   : Rina Nuryani, S.Pd., M.Pd.







Disusun oleh :
Nama                                                              NIM
1. Jaenul Humaedilah                                     (0142S1B014038)    
2. Wida Fadhilah                                             (0142S1B014032)






PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
MUHAMMADIYAH BOGOR
2015


KATA PENGANTAR
Pertama kami mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkah, rahmat, dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul “Unsur Internal dan Unsur Eksternal Wacana Monolog”ini disusun untuk bahan pembelajaran dan diskusi.
Dalam penulisan makalah ini, berbagai hambatan telah kami alami. Sehubungan dengan hal tersebut, kami sebagai penulis dengan ketulusan hati mengucapkan terima kasih kepada Ibu Rina Nuryani, S.Pd.,M.Pd selaku dosen Pengampu mata kuliah Analisis Wacana Monolog yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini, agar pengetahuan kami mengenai materi pembelajaran lebih luas. Dan bagi para pembaca, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari pengetahuan dan pengalaman kami masih sangat terbatas. Oleh karena itu, kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Dan kami juga sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak yang telah membaca, agar makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat. Terima kasih.

                                                                                                                 



                                                                                             Bogor, Oktober 2015    

                                                                                                       Penulis




DAFTAR ISI
Kata pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
               1.1. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
               1.2. Rumusan Masalah........................................................................... 1
               1.3. Tujuan.............................................................................................. 2
               1.4. Manfaat Penulisan........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
               2.1. Unsur Internal Wacana Monolog.................................................... 3
              
2.2. Unsur Eksternal Wacana Monolog.................................................. 6
BAB III PENUTUP
              3.1. Simpulan........................................................................................... 17
              3.2. Saran................................................................................................. 17
Daftar Pustaka.................................................................................................... 18
Catatan................................................................................................................. 19


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
            Pemahaman terhadap wacana akan memudahkan kita memahami bahasa secara lebih luas, bukan hanya dari struktur formal bahasa tetapi juga dari aspek di luar bahasa (konteks). Salah satunya adalah pemahaman wacana monolog. Pemahaman tentang wacana monolog merupakan upaya memahami unsur kebahasaan yang relatif lebih kompleks dan lebih lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Namun, wacana monolog ini pada dasarnya merupakan unsur bahasa yang bersifat praktis. Apalagi pemakaian wacana monolog dalam kehidupan berkomunikasi sangat memerlukan berbagai alat (peranti) yang digunakan untuk menganalisisnya. Oleh karena itu, pengkajian dan analisis tentang wacana monolog sangat diperlukan dan proses kegiatan pembelajaran. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk membekali pemakai bahasa agar mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar. Baik itu dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan. Dalam pengkajian analisis monolog, kita perlu mengetahui unsur-unsur apa saja yang membangun wacana monolog tersebut. Baik unsur internal maupun unsur eksternal.
            Dari uraian singkat diatas, penulis mencoba menguraikan unsur-unsur apa saja yang ada dalam sebuah wacana monolog. Hal ini bertujuan untuk memudahkan para pengkaji dalam menganalisis wacana monolog.
1.2. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang diatas, penulis dapat membuat beberapa rumusan masalah yang berkaitan dengan unsur wacana monolog yaitu :
a.       Unsur apa saja yang termasuk kedalam unsur internal dalam wacana monolog?
b.      Unsur apa saja yang termasuk ke dalam unsur eksternal dalam wacana monolog?


1.3. Tujuan
            Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a.       Untuk mengetahui unsur internal yang menyusun wacana monolog.
b.      Untuk mengetahui unsur eksternal yang menyusun wacana monolog.
1.4. Manfaat Penulisan
            Manfaat yang di dapat dari penulisan makalah ini adalah :
a.       Untuk mengetahui unsur intrernal dan eksternal yang terdapat dalam wacana monolog.
b.      Memberikan sumbangan pemikiran dalam peningkatan pengajaran analisis wacana monolog.
c.       Memberikan gambaran bahwa wacana merupakan bagian dari sebuah teks.
d.      Memahami informasi yang didapat secara lebih mendalam.















BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Unsur Internal Wacana Monolog
            Unsur internal atau unsur yang berasal dari dalam merupakan unsur penyusun  wacana monolog yang berkaitan dengan aspek kebahasaan. Maksudnya adalah unsur yang menyusun kata demi kata yang terdapat dalam wacana monolog dan mempengaruhi isi dalam sebuah wacana tersebut.
Unsur internal sebuah wacana monolog terdiri atas satuan kata atau kalimat. Yang dimaksud dengan satuan kata adalah kata yang berposisi sebagai kalimat, atau yang juga dikenal dengan sebutan “kalimat satu kata” yang memiliki arti bahwa, kalimat dapat disusun walaupun hanya dengan sebuah kata. Untuk menjadi sebuah wacana yang besar, maka satuan kata atau kalimat tersebut akan berkaitan satu sama lain dan bergabung membentuk sebuah wacana.
Unsur internal yang membangun sebuah wacana monolog terdiri dari beberapa unsur yaitu :
a.       Kata dan Kalimat
Kata, jika dilihat dalam sebuah struktur yang lebih besar, merupakan bagian dari kalimat. Sebagaimana dipahami selama ini, kalimat selalu diandaikan sebagai susunan yang terdiri dari beberapa kata yang bergabung menjadi satu pengertian dengan satu intonasi sempurna (final). Pada kenyataannya, suatu kalimat mungkin saja hanya terdiri atas satu kata. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kalimat dapat disusun walaupun hanya dengan satu kata. Namun, perlu diketahui bahwa “kalimat satu kata” adalah bentuk ungkapan atau tuturan terpendek yang juga harus memiliki esensi atau hakikat sebagai kalimat. Bentuk kalimat seperti ini sering muncul dalam suatu dialog atau percakapan. Orang cenderung bertanya jawab dengan kalimat-kalimat pendek satu kata. Misalnya dalam sebuah percakapan :
1.      A : Kuliah?
B : Enggak.


            Dalam konteks analisis wacana, kata atau kalimat yang berposisi sebagai wacana diisyaratkan memiliki kelengkapan makna informasi dan konteks tuturan yang jelas dan mendukung. Sementara ini, berdasarkan aspek semantisnya, kalimat memiliki makna sebagai serangkaian kata yang menyatakan pikiran dan gagasan yang lengkap serta logis. Kalimat juga dapat disebut sebagai ucapan bahasa yang memiliki arti penuh dan batas keseluruhannya ditentukan oleh intonasi sempurna. Kebermaknaan suatu kalimat ditentukan oleh ketergantungan kepada makna kalimat lain yang menjadi rangkaiannya. Pada dasarnya sebuah kata dan kalimat dapat bermakna, karena mengandalkan unsur lain yang menjadi pasangan ketergantungannya.
Kesendirian atau kemandirian kalimat sesungguhnya hanyalah kenisbian belaka. Dalam pandangan wacana, setiap kalimat adalah bagian dari keseluruhan struktur yang lebih besar. Meskipun setiap kalimat bisa berdiri sendiri, tetapi dalam kesendirian itu ada batas-batas tertentu. Karena memang ada kaitannya antara kalimat-kalimat itu. Jadi, kalimat itu pada satu pihak berdiri sendiri, tetapi dipihak lain masih bergantung pada kehadiran kalimat lain. Walaupun ada kalimat yang mampu berdiri sendiri, ia masih tetap terikat dalam satu hubungan yang lebih besar, yaitu dimana ia diucapkan.
Untuk dapat memahami pernyataan di atas, mari kita perhatikan kalimat pendek berikut ini!
2.      Dia memang pintar.
Berdasarkan kaidah sintaksis dan semantik, kalimat (2) di atas merupakan kaimat yang benar tata bahasanya dan jelas maknanya. Namun, berdasarkan pandangan kewacanaan, masih banyak persoalan yang perlu diungkapkan. Misalnya, siapakah yang dimaksud dengan dia, siapa pula yang mengucapkan kalimat itu, dan dalam konteks apa kalimat itu muncul. Munculnya beberapa pertanyaan tadi, jelas menunjukan bahwa kalimat tersebut belum menunjukan adanya kelengkapan makna dan informasi. Sebab pada dasarnya kalimat itu muncul (diucapkan) karena ada kondisi yang melatarbelakanginya. Jadi ada unsur lain yang melingkupnya.
b.      Teks dan Koteks
Banyak orang yang mempertukarkan istilah “teks” dan “wacana”. Sebenarnya, istilah teks lebih dekat pemaknaannya dengan bahasa tulis, dan wacana pada bahasa lisan. Dalam tradisi tulis, teks bersifat “monolog noninteraksi”, dan wacana lisan bersifat “dialog interaksi”. Dalam konteks ini, teks dapat disamakan dengan naskah, yaitu semacam bahan tulisan yang berisi materi tertentu, seperti naskah materi kuliah, pidato dan lainnya. Jadi perbedaan kedua istilah itu semata-mata terletak pada segi (jalur) pemakainya saja.
Namun demikian, atas dasar perbedaan penekanan itu pula kemudian muncul dua tradisi pemahaman di bidang linguistik, yaitu “analisis linguistik teks” dan “analisis wacana”. Analisis linguistik teks langsung mengandalkan objek kajiannya berupa bentuk formal bahasa, yaitu kosakata dan kalimat. Sedangkan analisis wacana mengharuskan disertakannya analisis tentang konteks terjadinya suatu tuturan. 
Sebenarnya, teks adalah wujud pokok bahasa. Dengan kata lain, teks direalisasi (diucapkan) dalam bentuk “wacana”. Berkaitan dengan teks, didapati pula istilah koteks (co-text), yaitu teks yang bersifat sejajar, koordinat, dan memiliki hubungan antara teks yang satu dengan teks lainnya.
Teks lain tersebut bisa berada di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi). Berikut ini adalah sebuah tulisan yang digantungkan orang di lorong akhir suatu jalan di kampung.
3.      Terima kasih.
Wacana (3) itu jelas-jelas merupakan wacana potongan. Makna dan interpretasi apa yang dapat diambil dari gantungan tulisan itu? Ternyata ada wacana atau teks lain yang sebelumnya tergantung di lorong masuk jalan kampung tersebut yaitu :
4.      Jangan mengebut! Banyak anak-anak.
Wacana (4) peringatan bagi orang yang akan melewati lorong kampung itu. Apabila para pengendara motor telah menaatinya, misalnya dengan memperlambat laju kendaraannya, maka wacana (3) adalah sebuah contoh ucapan
yang akan diberikan masyarakat kepada para pengguna jalan (lorong) tersebut. Inilah yang dinamakan hubungan antara teks satu dengan teks yang lainnya. Hal yang sama dapat terjadi misalnya, antara “Selamat Datang” dengan teks “Selamat Jalan”. Salah satu teks itu ada yang berkedudukan sebagai koteks atau teks penjelas bagi teks lainya.
            Dalam teks panjang, sering terdapat kata yang harus dicarikan makna (informasi)-nya pada kata (bagian) lainnya. Mari kita perhatikan kalimat berikut!
5.      Jackman tampak lusuh. Jalannya sempoyongan. Tetapi wajahnya menunjukan keceriaan. Dia baru pulang dari Australia.
Bentuk dia pada kalimat terakhir, mengacu pada nama Jackman yang disebutkan sebelumnya. Penafsiran ini jelas benar, karena didasarkan pada teks lain yang menjadi penjelas kata Dia. Maka dalam hal ini, Jackman adalah koteks bagi bentuk dia.
Keberadaan koteks dalam suatu struktur wacana menunjukan bahwa teks tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan. Gejala inilah yang menyebabkan suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Koteks, dengan demikian berfungsi sebagai alat bantu untuk memahami dan menganalisis sebuah wacana.
2.2. Unsur Eksternal Wacana Monolog
            Unsur ekstern (unsur luar) wacana monolog adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, namun tidak tampak secara eksplisit (tersurat/tertulis). Sesuatu itu berada di luar satuan lingual bahasa dalam wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi dan konteks. Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut dapat membantu pemahaman tentang suatu wacana.
a.       Implikatur
Implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
Dalam lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang diimplikasikan”. Implikatur juga sangat erat kaitannya dengan dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Jika dalam dalam suatu komunikasi salah satu tidak paham dengan arah pembicaraan (komunikasi), maka seringkali ditanyakan, “Sebenarnya apa implikasi ucapan Anda tadi?”
Ada dua macam implikatur yaitu implikatur konvensional (conventional implicature), dan implikatur percakapan (conversation implicature). Implikatur konvensional adalah implikatur yang terjadi tanpa adanya sebuah percakapan (monolog) dan bersifat konvensional (umum), sedangkan implikatur percakapan hanya dapat terjadi jika telah terjadi sebuah interaksi antara dua orang (dialog) dan bersifat nonkonvensional (sesuatu yang diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan).
Kita tahu bahwa sifat dari implikatur konvensional ini sangatlah umum atau semua orang sudah mengerti maksudnya. Berikut ini ada dua contoh dari  implikatur konvensional dalam wacana monolog yaitu :
6.      Chris John adalah petarung yang indah.
7.      Lestari putrid Solo, jadi ia luwes.
Kata petarung pada wacana (6) berarti “atlet tinju”. Pemaknaan ini benar, karena secara umum (konvensional), orang sudah mengetahui bahwa Chris John adalah atlet tinju. Jadi, dalam konteks wacana tersebut, orang tidak akan memaknai kata petarung dengan pengertian yang lain. Begitupun dengan wacana (7), selama ini kota Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan dengan kehalusan dan keluwesan putri-putrinya. Implikasi yang muncul pada wacana ini adalah, bahwa perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes (menarik) akan penampilannya.
Ada contoh lain dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak akan di
ucapkan justru “disembunyikan”, diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali berbeda dengan maksud ucapannya. Perhatikan bentuk-bentuk percakapan di bawah ini untuk menambah wawasan pembaca.
8.      Ibu       : Ayu, adikmu belum makan.
Ayu      : Ya, Bu. Lauknya apa?
9.      Guru    : Kelasnya panas sekali, ya.
Murid  : Jendelanya dibuka ya, Pak?
            Percakapan antara Ibu dengan Ayu pada contoh (8) mengandung sebuah implikatur yang bermakna “perintah menyuapi”. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan Ibu hanyalah pemberitahuan bahwa “adik belum makan”. Namun, Ayu dapat memahami implikatur yang disampaikan Ibunya, ia menjawab dan siap untuk melaksanakan perintah ibunya tersebut.
            Gejala yang hampir sama terjadi pada contoh (9), yaitu perintah guru untuk melakukan sesuatu agar panas di kelas berkurang. Murid yang paham maksud gurunya, segera membuka jendela.
b.      Presuposisi
Istilah presuposisi adalah turunan dari bahasa Inggris presupposition, yang berarti “perkiraan, persangkaan”. Semua pernyataan memiliki praanggapan, yaitu rujukan atau referensi dasar. Rujukan inilah yang menyebabkan suatu ungkapan wacana dapat diterima atau dimengerti oleh pasangan bicara, yang pada gilirannya komunikasi tersebut akan dapat berlangsung dengan lancar.
“Rujukan” itulah yang dimaksud dengan “Praanggapan”, yaitu anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pembaca/pendengar. Praanggapan membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat) untuk menyampaikan makna atau pesan yang akan disampaikan. Jadi, semua pernyataan atau ungkapan kalimat, baik bersifat negatif maupun positif, tetap mengandung anggapan dasar sebagai isi dan substansi kalimat. Sebagai contoh :
10.  Kuliah Analisis Wacana diberikan di semester VI.
Praanggapan untuk pernyataan itu adalah : (1) ada kuliah Analisis Wacana, dan (2) ada semester V. Bila kalimat tersebut dinegatifkan, akan berubah sebagai berikut ini :
11.  Kuliah Analisis Wacana tidak diberikan di semester VI.
Praanggapan untuk kalimat (11) tetap sebagaimana semula, yaitu (1) ada kuliah Analisis Wacana, dan (2) ada semester V.
Adapun praanggapan dalam suatu wacana dialog yaitu suatu praanggapan merupakan “pengetahuan bersama” antara pembicara dan pendengar. Sumber praanggapan adalah pembicara. Artinya, perkiraan pengetahuan mengenai sesuatu hal dimulai oleh pembicara ketika pembicara mulai mengutarakan suatu tuturan. Hal itu bisa terjadi karena pembicara memperkirakan orang yang diajak bicara sudah mengetahui hal yang akan diucapkannya. Contohnya sebagai berikut.
12.  Jack     : Ayam bangkokku sudah laku lagi.
Hugh   : Harganya seperti kemarin?
Pembicara pertama dalam dialog (12) tidak perlu mengutarakan terlebih dahulu suatu pemberitahuan bahwa ia mempunyai ayam Bangkok. Hal itu karena pembicara sudah beranggapan bahwa orang yang diajak sudah mengetahui apa yang dimaksudkan. Bahkan, jawaban Hugh mengisyaratkan bahwa besar kemungkinan Hugh sudah mengetahui harga ayam Bangkok yang dijual Jack pada waktu sebelumnya. Oleh karena itu, Hugh tidak perlu bertanya lagi “Apakah kamu punya ayam Bangkok?”
Jadi kesimpulannya adalah, makin akrab (minimal adanya keterkaitan) hubungan antara pembicara dengan pasangan bicaranya, maka akan semakin banyak kedua pihak berbagi pengalaman dan pengetahuan. Semakin banyak praanggapan yang mereka miliki, maka tidak perlu diutarakan secara verbal. Oleh karena itu, praanggapan hanya ditujukan kepada pendengar yang menurut pembicara, memiliki pengetahuan seperti yang dimiliki pembicara.

c.       Referensi
Secara tradisional, referensi adalah hubungan antara kata dengan benda (orang, tumbuhan dan sesuatu yang lainya) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/penulis. Jadi, yang menentukan suatu referensi dalam sebuah tuturan adalah pihak pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang piling mengetahui hal yang diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh ujarannya. Pendengar atau pembicara hanya dapat menerka hal yang dimaksud (direferensikan) oleh pembicara dalam ujarannya itu. Terkaan itu bersifat relatif. Bisa benar, bisa pula salah.
Dengan kata lain, tugas pendengar atau pembaca dalam memahami ujaran adalah mengidentifikasi sesuatu atau seseorang yang ditunjuk atau dimaksud dalam ujaran tersebut. Kemampuan mengidentifikasi atau menerka rujukan itu sering kali berbeda dengan yang dimaksud pembicara. Perbedaan terkaan itu disebabkan oleh perbedaan representasi atau pemahaman dunia antara pembicara dengan pendengar. Oleh karena itu, dalam memahami atau menganalisis wacana, diperlukan pengetahuan dan pengalaman tentang dunia. Setidaknya tentang “dunia” atau isi yang terdapat dalam wacana.
Dilihat dari acuannya, referensi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu referensi eksofora (situasional/kontekstual) dan referensi endofora, (tekstual). Referensi endofora dapat dipilah menjadi menjadi dua jenis yaitu referensi anafora (anaphora), dan referensi katafora (cataphora).
Referensi eksofora adalah penunjukan atau pemahaman terhadap kata yang relasinya terletak dan bergantung pada konteks situasional. Bila pemahaman ini terletak di dalam teks itu sendiri, maka relasi penunjukan itu dinamakan referensi endofora. Contoh wacana terjadinya wacana eksofora.
13.  Itu rumah.
Kata itu menunjuk pada sesuatu, yaitu rumah. Rumah yang dimaksud, “tempatnya”, tidak terdapat dalma teks, melainkan berada di luar teks. Jadi, referensi eksofora itu mengaitkan langsung antara teks dengan sesuatu yang ditunjuk di luar teks tersebut
Referensi anafora adalah hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya dalam teks. Hubungan ini menunjuk pada sesuatu atau anteseden yang telah disebutkan sebelumnya. Contohnya ada pada wacana berikut
14.  Juna menulis buku. Dia memang produktif.
Kata dia pada kalimat kedua mengacu pada Juna, yaitu nama yang telah disebut sebelumnya (pada kalimat pertama). Pola pengacuan masih merujuk pada sesuatu/seseorang yang berada dalam teks. Jadi, tidak perlu dicari nama Juna yang mana. Sementara itu, referensi katafora bersifat sebaliknya, yaitu mengacu kepada anteseden yang akan disebutkan sesudahnya. Referensi katafora dapat ditemukan pada contoh berikut.
15.  Buku pewayangan sangat terkenal. Ramayana.
Kata buku pada kalimat pertama mengacu pada anteseden yang disebut sesudahnya, yaitu Ramayana. Penunjukan itu sekaligus menjadi jawabannya. Gejala referensi katafora semacam ini sangat jarang ditemukan dalam bahasa yang berpola DM (diterangkan-menerangkan). Sehingga contoh (15) tersebut serasa agak janggal atau kurang lazim di dalam bahasa Indonesia. Susunan yang dapat diterima seharusnya adalah sebagai berikut.
     15a. Ramayana adalah buku pewayangan yang sangat terkenal.
            Dalam bahasa Inggris, referensi katafora justru banyak terjadi, misalnya pada contoh berikut ini.
16.  It’s going down quickly, the sun.
Kata it menunjukan kepada sesuatu yang disebut berikutnya, yaitu the sun. Sementara itu, menurut jenisnya referensi dapat dipilah menjadi tiga jenis, yaitu referensi personal, referensi demonstratif, dan referensi komparatif. Referensi personal meliputi kata ganti orang (pronominal persona) pertama, tunggal (saya, aku), kata ganti orang kedua (kamu, engkau, Anda, kalian), dan kata ganti orang ketiga (dia, mereka). Referensi demonstratif adalah kata ganti petunjuk ini, itu, di sana, di situ. Referensi komparatif adalah penggunaan yang bernuansa perbandingan. Misalnya, seperti, bagaikan, sama, identik, dan serupa.
Berdasarkan bentuknya, referensi dapat dipilah menjadi tiga bagian yaitu : referensi dengan nama, referensi dengan kata ganti, referensi dengan pelesapan. Referensi dengan nama dipakai untuk memperkenalkan topik (subyek) yang baru, atau justru untuk menegaskan bahwa topiknya masih sama, sehingga tidak perlu disebut lagi pada bagian-bagian sesudahnya. Dalam kalimat majemuk, biasanya subyek dan predikat yang masih sama hanya akan disebut satu kali saja dan tidak perlu diulang-ulang pada bagian berikutnya. Perhatikan contoh berikut.
17.  Enrique biasa menulis cerpen, cerbung, dan novel.
Sebenarnya, sebelum cerbung dan novel, terdapat subyek dan predikat (Enrique menulis) yang menyertainya. Akan tetapi, karena topiknya masih sama dengan yang disebut sebelumnya, maka hal itu tidak diulang lagi.
Referensi dengan kata ganti (pronominalisasi) juga digunakan untuk menegaskan bahwa topiknya masih sama. Di samping itu, referensi ini juga sering digunakan untuk meletakan tingkat fokus yang lebih tinggi pada topik yang dimaksud. Jika topiknya orang, maka pronominalisasi dipresentasikan dengan pronominal persona (I, II, dan III). Sedangkan, jika topiknya bukan orang atau tidak hidup, pronominalisasi dapat diwujudkan dengan kata ganti penunjuk (ini, itu, di sana, di situ, dan sebagainya). Sebagai contoh perhatikan wacana berikut.
18.  Julian terpilih menjadi lurah di Karangjati. Dia dikenal dekat dengan warganya. Desa itu memang membutuhkan pemimpin yang memiliki sifat merakyat.
Bentuk dia pada kalimat kedua mengacu pada topik/subyek orang yang bernama Julian, sedangkan desa itu menunjuk pada Desa Karangjati.
Referensi dengan pelepasan adalah penghilangan bagian-bagian tertentu dalam suatu kalimat untuk menunjukan masih adanya pengacuan bentuk dan makna di dalam kalimat lainnya. Salah satu fungsi pelesapan adalah untuk mendapat efek efisiensi atau keefektifan suatu bahasa. Gejala pelepasan dapat dibentuk seperti pada contoh (17). Dengan mengilangkan kata biasa maka kalimatnya menjadi lebih efektif.
d.      Inferensi
Inferensi atau inference secara leksikal berarti kesimpulan. Dalam bidang wacana, istilah itu berarti sebagai proses yang harus dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara/penulis. Pembaca harus dapat mengambil pengetian, pemahaman, atau penafsiran suatu makna tertentu. Dengan kata lain, pembaca harus mampu mengambil kesimpulan sendiri, meskipun makna itu tidak terungkap secara eksplisit.
Inferensi adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Dengan cara itu, pendengar/pembaca dapat menduga maksud dari pembicara/penulis. Dengan itu pula, pendengar mampu memahami apa yang disampaikan pembicara/penulis. Di samping itu, aspek konteks situasional dan aspek sosio-kultural juga menjadi faktor penting dalam memahami wacana inferensi. Perhatikan contoh berikut :
19.  Sudah masuk kota, kita cari gudeg.
Kota yang dimaksud dalam percakapan tersebut adalah Yogyakarta. Penjelasan itu dipastikan benar, karena secara kultural Yogyakarta dikenal sebagai kota gudeg. Proses inferensi inilah yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas.
Untuk memahami atau menafsirkan wacana yang mengandung interferensi, dapat diterapkan dua prinsip, yaitu prinsip analogi (PA) dan prinsip penafsiran lokal (PPL). Prinsip analogi adalah cara menafsirkan makna wacana yang didasarkan pada akal atau pengetahuan tentang dunia dan pengalaman umumnya. Sedangkan prinsip penafsiran lokal menganjurkan kepada pembaca untuk memahami wacana berdasarkan “konteks lokal” yang melingkupi wacana itu sendiri. Pembaca dan pendengar harus membuat dan sekaligus membatasi wilayah penafsiran.
Untuk sampai kepada suatu tafsiran, pembaca tidak perlu mencari konteks yang lebih luas dari yang diperlukan. Hal itu dimungkinkan karena di sekitar (lingkungan) pemakaian wacana, tersedia hal-hal yang dapat membantu proses penafsiran makna wacana. Hal-hal itu antara lain misalnya, kalimat penjelas, ilustrasi (bisa wujud gambar atau lainnya), dan konteks yang menjelaskan latar terjadinya sebuah wacana monolog itu.
e.       Konteks wacana
Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif, interpretatif dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa itu selalu diandaikan terjadi secara dialog maupun monolog, sehingga perlu adanya kemampuan menginterpretasikan, dan memahami konteks terjadinya wacana tersebut.. Pemahaman terhadap konteks wacana, pada dasarnya diperlukan dalam proses menganalisis wacana monolog secara utuh.
Konteks adalah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi, baik satu arah maupun dua arah. Konteks dapat juga dianggap sebagai sebab dan alasan ter-jadinya suatu pembicaraan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Baik itu dalam bentuk lisan, maupun dalam bentuk tulisan.
            Pada hakikatnya, wacana monolog adalah wujud nyata komunikasi verbal manusia dalam bentuk tulisan maupun lisan. Oleh karena itu, wacana selalu mengandaikan adanya seseorang yang disebut sebagai pembicara, penulis, penyapa atau penutur. Keterpahaman terhadap tuturan baik lisan maupun tulisan, sangat bergantung pada bagaimana pembaca/pendengar memahami tuturan yang bersifat kontekstual.
            Salah satu unsur konteks yang cukup penting adalah waktu dan tempat. Contoh (19) menggambarkan bagaimana kedua unsur tersebut sangat berpengaruh terhadap makna dalam sebuah wacana.
20.  Waktu pukul enam sore, Desa Tirtomoyo sudah tampak sunyi seperti kuburan. Terpaksa aku menutup pintu rumah. Masuk, dan tiduran. Aku terbangun pukul tiga pagi. Tidak dikira, ternyata di jalan sudah banyak orang lalu lalang.
Contoh (19) memberi informasi tentang “keadaan suatu desa berdasarkan konteks tempat dan waktu”. Pemahaman tentang keadaan dan keramaian desa umumnya berbeda dengan kondisi di perkotaan. Informasi itu bahkan bisa bermakna sebaliknya. Jam 18:00 petang, di desa, terutama di daerah pelosok, barangkali sudah dianggap malam (indikasinya sudah gelap, karena belum ada penerangan listrik, dan sebagainya). Sementara di kota, konteks waktu seperti itu masih dianggap sore. Sebaliknya, jam 03:00 pagi buta, di desa sudah dianggap pagi (kerja), sementara di kota, bahkan masih sangat malam. Penafsiran ini semata-mata berdasarkan pada kondisi dan kebiasaan saja. Bila itu dikaitkan dengan kesibukan kerja, misalnya, di terminal, di pasar, atau di tempat lain, tentu pemahaman tentang makna dan informasinya juga akan mengalami perubahan. Konteks yang berkaitan dengan penutur wacana juga sangat berperan dalam memahami makna dan informasi tuturan.
Menurut Anton M. Moelino dan Samsuri, konteks terdiri atas beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan topic, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran.
Dell Hymes konteks merumuskan dengan baik sekali faktor-faktor penentu peristiwa tutur tersebut, melalui akronim SPEAKING. Tiap-tiap fonem mewakili faktor penentu yang dimaksudkan.
S          : Setting and scene, yaitu latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat                
            fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya sebuah tuturan, baik
            lisan maupun tulisan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih
             mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tuturan itu.
P          : Participants, siapa saja yang terlibat dalam sebuah tuturan, baik itu lisan
              maupun tulisan. Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan, bisa saja usia,
            maupun pendidikan, yang menjadi perhatian.
E         : Ends, hasil dari suatu pembicaraan ataupun hasil dari suatu pendengaran
            atau hasil bacaan dari sebuah wacana itu sendiri.
A         : Act sequences, pesan/amanat yang terdiri dari bentuk pesan dan isi pesan
            yang didapat setelah membaca atau mendengarkan.
K         : Key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan ataupun
             menuliskan sebuah tuturan. Semangat dalam melakukan dan menuliskan
           sebuah tuturan bisa saja santai, serius, akrab.
I           : Intrumentalities, sarana dalam melakukan sebuah tuturan. Maksudnya
 dengan media apatuturan itu disampaikan. Misalnya dengan cara lisan,  
 tulisan, surat, radio, televisi.
N         : Norms, menyangkut pada norma dan aturan yang membatasi tuturan atau
            suatu tulisan tersebut. Hal ini tentang apa yang harus dibicarakan dan hal
            apa saja yang tidak harus dibicarakan dan dituliskan. Baik itu kasar, halus,
            terbuka, sampai jorok sekalipun.
G         : Genres, hal ini berhubungan dengan jenis atau bentuk wacana. Misalnya
            wacana koran, wacana puisi dan ceramah.
            Uraian tentang konteks terjadinya suatu wacana monolog, menunjukan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan sebuah wacana monolog. Kesimpulannya, secara singkat dapat dikatakan in language, context is everything. Dalam berbahasa, konteks adalah segala-galanya. Pernyataan itu mengisyaratkan, betapa luas ruang lingkup yang harus ditelusuri dalam kajian wacana monolog. Lebih-lebih, betapa banyak bekal yang harus dipersiapkan untuk mengkaji sebuah wacana.
            Melalui pembelajaran mengenai unsur yang menyusun sebuah wacana monolog yaitu unsur internal dan unsur eksternal, kita dapat mengetahui hal-hal apa saja yang harus kita lakukan dalam mengkaji sebuah wacana monolog. Karena berkat unsur-unsur inilah sebuah wacana monolog dapat terbentuk. Ibaratnya kita memakan sebuah kue. Ketika kita menyukai kue tersebut kita pasti akan penasaran dengan bahan-bahan atau unsur-unsur apa saja yang digunakan dalam pembuatan kue tersebut. Sama halnya dengan sebuah wacana yang indah. Ketika kita membacanya, pasti kita juga ingin membuat karya yang bagus seperti yang kita baca. Melalui pembelajaran unsur yang menyusun wacana monolog juga, kita dapat membuat sebuah karya yang indah itu.


BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
            Wacana monolog memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur internal (dalam) dan unsur eksternal (luar). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan yang terdiri dari kata dan kalimat serta teks dan koteks. Sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal diluar wacana itu sendiri. Kedua unsur tersebut membentuk satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap. Unsur eksternal wacana monolog adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, namun tidak nampak secara eksplisit (tertulis). Sesuatu itu berada di luar satuan bahasa dalam wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur eksternal ini terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi dan konteks.
3.2. Saran
Saran yang ingin penulis sampaikan kepada pembaca adalah hendaknya pembaca mempelajari unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam wacana monolog. Karena dalam mengkaji suatu wacana monolog pasti kita akan menentukan unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam wacana tersebut. Dan penulis juga menyarankan agar pembaca mencari sumber informasi, yang banyak. Terutama dari buku sumber, bukan dari internet saja.









DAFTAR PUSTAKA
Heryanto, Yusuf.2014.Ikhtisar Ilmu Bahasa 2.Bogor:Asasupi dan Kapas.
HP, Achmad dan Alek Abdullah.2012.Linguistik Umum.Jakarta:Erlangga.




























Catatan          :









Tidak ada komentar:

Posting Komentar